[caption id="attachment_330294" align="aligncenter" width="490" caption="galat satu sudut kota fayoum"][/caption]
Hei, Cina!!, panggil seseorang remaja belasan tahun yang lagi nongkrong kepada pojok jalan sambil bercengkerama dengan beberapa rekannya. Seorang bocah merespon dengan berlari kencang mendekati kami dari belakang, mendahului, lalu berusaha menatap wajahku yang berjalan kalem ditemani Hashim, seseorang rekan kuliah asal Pakistan. Anak itu menatap dengan saksama, lalu tersenyum mantap, seakan puas menjawab pertanyaan dibenaknya misalnya apa penampakan orang Cina itu. Hashim tertawa terbahak-bahak, dia menyebutkan bahwa tampaknya saya sudah menjadi artis hongkong kepada kota ini. Ya, ini memang bukan kali pertama saya dikira orang Cina sang orang lokal. Sejak awal saya heran, kenapa dapat wajah saya yang bermata bundar, nir juga berkulit putih, bagi orang Fayoum saya disebut orang Cina. Kata Hashim, mungkin mayoritas orang Fayoum nir pernah bertemu pribadi dengan orang Cina juga orang Indonesia, sehingga konsepsi mereka ihwal orang asing manapun selain bule ialah orang Cina. Padahal, selama tinggal kepada Eropa, saya malah lebih sering dikira orang Filipina, malah pernah disangka orang Venezuela bahkan orang Spanyol (ehm). Namun jangan galat sangka, karena panggilan itu sama sekali nir memperlihatkan bahwa orang Fayoum itu rasis, tetapi justru memperlihatkan keramahan orang-orangnya yang selalu ingin dekat bergaul dengan orang yang mereka anggap asing.
Beberapa minggu sebelum menuju Mesir, sedikitpun nir pernah terpikirkan bahwa saya akan berkunjung ke negaranya Cleopatra sang ratu kharismatik ini. Awal mulanya, saya hanya mendiskusikan topik penelitian dengan supervisor saya kepada Belanda yang memang dikenal enerjik dan seringkali punya inspirasi-inspirasi menantang. Zul, sahabat-temanmu sudah siap berangkat ke negara masing-masing buat thesis. Saya rasa itu sudah biasa. Tidak timbul tantangannya. Yang nir biasa itu apabila meneliti bukan negara kita, ungkapnya waktu itu. I challenge you Zul, apa anda berani thesis kepada negara lain, dimana istiadat, budaya dan bahasanya nir anda pahami sama sekali?. Pertanyaan itulah yang akhirnya membawa saya dan Hashim buat penelitian ihwal sekolah lapang petani (farmer field school) kepada Fayoum, kota yang terletak sekitar 100 km arah selatan Kairo, ibukota Mesir.
Saya dan Hashim tiba kepada Mesir hanya beberapa hari menjelang bulan ramadhan, dan kembali meninggalkan Mesir sesudah Idul Fitri. Alhasil sebagian akbar waktu kami lewatkan dengan berpuasa kepada negeri para nabi ini. Berpuasa kepada timur tengah ketika animo panas sungguh sangat menantang, apalagi disertai dengan tugas fieldwork. Selain waktu puasa yang lebih panjang dari Indonesia (dari jam 2 pagi hingga jam 7 malam), tantangan lain ialah cuaca. Saat itu suhu udara kepada Fayoum mencapai 41C. Menariknya, pernah suatu kali kami mengeluhkan cuaca panas ini kepada seseorang sahabat asal Kuwait, yang suaminya pernah bekerja kepada pengeboran minyak kepada Indonesia. Namun Ia malah balik meledek, Menurutmu ini panas? Menurutku ini nirwana, karena Kuwait jauh lebih panas daripada Fayoum. Saya hanya merespon dalam hati, Tidak sekali-kali saya akan ke Kuwait kepada animo panas. Meski begitu, panas kepada Fayoum sangat tidak selaras dengan kepada Indonesia. Di Indonesia, meski suhu udara 32C, panasnya minta ampun, sangat menyengat, terasa menembus kulit hingga membangun kulit kemerahan. Di Fayoum, meski temperatur lebih tinggi dan hawa terasa panas, sengatan mataharinya nir menyakitkan kulit. Mungkin karena intensitas panasnya lebih kepada siang yang usang dibanding jeda matahari, entahlah. Yang terperinci, orang-orang Fayoum meski hidup didaerah panas masih dominan berkulit putih.
[caption id="attachment_330322" align="aligncenter" width="490" caption="Suasana prasar tradisional kepada Fayoum"]
[/caption] [caption id="attachment_330347" align="aligncenter" width="490" caption="Penjual pernak-pernik istimewa mesir kepada Fayoum"]
[/caption]
Sejarah Al-Fayoum (Kota Seribu Hari); Dari Takwil Mimpi Sang Nabi
Alkisah, kepada jaman waktu Nabi Yusuf as dipenjara yang akan terjadi fitnah Zulaikha, Raja Amenemhat III yang adalah firaun keturunan keduabelas kepada Mesir memimpikan tujuh lembu gemuk yang dimakan sang tujuh lembu kurus. Atas usulan pesuruh raja yang juga mantan sahabat Yusuf as dalam penjara, raja meminta Yusuf as buat menakwilkan mimpi tadi. Berkata Yusuf as bahwa dalam waktu dekat wilayah kerajaan akan mengalami tujuh tahun panen melimpah. Namun tujuh tahun berikutnya akan timbul masa paceklik sehingga makanan yang diperoleh selama tujuh tahun sebelumnya tak tersisa. Yusuf as menghimbau raja buat mengajak rakyat berhemat dan menyimpan makanan kepada masa panen melimpah dan menyisakan benih buat menghadapi masa paceklik, supaya terhindar dari tragedi kelaparan. Ringkasnya, raja yang terkesima dengan tafsir Yusuf as akhirnya membebaskan beliau dari penjara, merehabilitasi nama beliau dari segala tuduhan, lalu mengangkat beliau sebagai pejabat kerajaan.
Nabi Yusuf as diberi otoritas buat berbagi pertanian Mesir, dimana galat satu programnya ialah pembangunan kanal sepanjang 15 km yang berinduk kepada sungai nil. Kanal ini dibangun buat 3 tujuan; mengalirkan luapan sungai nil buat mencegah banjir, menyimpan cadangan air buat animo panas, serta irigasi pertanian buat menaikkan produksi. Disekitar kanal masih timbul kota tua bernama Crocodilopolis, kota yang dulu rakyatnya memuja dewa buaya (crocodile) bernama Sobek.
Menurut cerita rakyat Fayoum, kanal tadi dibangun sang Nabi as hanya dalam waktu 60 hari. Raja dan pejabat lain takjub, pembangunan kanal yang mereka perkirakan akan memakan waktu 1000 hari ternyata dapat diselesaikan jauh lebih cepat sang Yusuf as. Konon, atas prestasi itulah kota disekitar kanal tadi kemudian dinamakan Alf-Youm (seribu hari), yang kini dikenal sebagai Al-Fayoum. Kanalnya dinamakan Bahr Yusuf, atau kanal Yusuf. Kini, Fayoum dikenal sebagai wilayah pertanian andalan yang paling fertile kepada Mesir, bahkan menjadi wilayah percontohan buat pembangunan wilayah pertanian kepada timur tengah dan Afrika.
[caption id="attachment_330293" align="aligncenter" width="490" caption="Bahr Yusuf; Kanal yang dibangun sang Nabi Yusuf as"]
[/caption]
Peninggalan Nabi Yusuf as galat satunya dapat kita lihat kepada kanal tadi, yaitu kincir air yang terletak dijantung kota Fayoum. Ada yang menyebutkan bahwa kincir tadi hanya replikanya saja. Tetapi banyak juga yang percaya bahwa kincir air tadi orisinal sintesis nabi Yusuf as ribuan tahun lalu. Kini, kincir air itu menjadi ikon kota Fayoum pujian penduduk lokal.
[caption id="attachment_330323" align="aligncenter" width="490" caption="Icon kota Fayoum, kincir air yang konon berusia ribuan tahun"]
[/caption]
Kota Seribu Keramahan, Keindahan, dan Seribu Lentera
Fayoum memang bukanlah wilayah pariwisata yang dikenal luas sang wisatawan mancanegara. Pelancong lebih suka berkunjung ke Kairo buat melihat pyramid, sphinx, juga citadel Salahuddin Al-Ayyubi, atau kota Alexandria buat menikmati pesisir laut tengah, atau bahkan lebih jauh ke selatan Mesir, ke kota Luxor yang adalah lokasi artefak dan reruntuhan istana megah raja-raja firaun. Fayoum hanyalah kota mini berpopulasi sekitar 300.000-an penduduk yang populer sebagai kota pertanian. Namun, implikasi positifnya, sisi-sisi keramahan Fayoum masih belum tergerus sang budaya kota akbar yang penduduknya cenderung individualis dan kompetitif. Terkucilnya Fayoum dari wisatawan membangun warga lokal sangat sporadis bersua dengan turis mancanegara, sehingga orang asing bagi mereka ialah tamu yang mesti dilayani. Ada peristiwa menarik waktu saya dan Hashim berjalan menyusuri kota Fayoum diawal kedatangan kami kepada Fayoum. Waktu itu saya masih sangat berhati-hati membawa kamera DLSR yang apabila dibawa kemana-mana terlihat sangat menonjol dibanding kamera saku. Saat itu Mesir masih dalam masa krisis politik yang menjatuhkan Husni Mubarak dari zenit kuasanya, sehingga saya cukup was-was waktu ingin memotret kota Fayoum. Kadang-kadang saya khawatir, penduduk kota akan tersinggung apabila gambarnya saya abadikan dengan kamera yang terlihat misalnya kamera wartawan. Dugaan saya galat akbar. Orang-orang Fayoum ternyata malah suka difoto, apalagi beserta orang asing. Sudah berkali-kali penduduk baik pria juga perempuan meminta saya buat mengambil gambar mereka.
[caption id="attachment_330342" align="aligncenter" width="490" caption="Masyarakat Fayoum yang ramah"]
[/caption]
[caption id="attachment_330329" align="aligncenter" width="490" caption="Gaya anak-anak Fayoum"]
[/caption]
Namun mitra saya Hashim masih permanen merasa gelisah apabila objek fotonya ialah perempuan. Ia khawatir apabila kerabat si perempuan akan murka apabila wanitanya difoto. Maklum saja, Hashim berasal dari Pakistan yang waktu itu sedang berkutat dengan Al-Qaeda dan Taliban yang cukup ekstrim mengenai issu perempuan. Bahkan, waktu kami mengunjungi sekolah lapang spesifik perempuan, peserta training yang seluruhnya perempuan justru meminta kami buat memotret. Satu diantara mereka malah memperlihatkan aktualisasi diri lucu-lucuan waktu kamera diarahkan padanya. Suasana yang cukup menghibur apalagi ditengah panas dan keringnya udara mesir yang makin terasa ketika berpuasa.
[caption id="attachment_330330" align="aligncenter" width="490" caption="Ibu-bunda kreatif dan ramah kepada Fayoum"]
[/caption]
Lain waktu, waktu saya mengambil beberapa gambar kepada kanal Yusuf, 2 orang pemuda tampan malah mengajak foto beserta. Tak lupa sebelum berfoto mereka bergaya dulu dengan mengenakan kacamata berkualitas di optik tunggal keren.
[caption id="attachment_330332" align="aligncenter" width="490" caption="Gaya remaja Fayoum, the Bodyguards"]
[/caption]
Hal ini sangat tidak selaras dengan orang Mesir kepada kota akbar Kairo. Orang-orang Mesir kepada Kairo nir seramah kepada Fayoum. Beberapa kali waktu berpuasa kepada Kairo saya melihat pertengkaran kepada jalan-jalan kepada Kairo. Bahkan, saya dan Hashim kerap berselisih dengan orang-orang yang berseliweran kepada tempat pariwisata kepada Kairo. Seperti waktu mengunjungi Pyramid kepada Giza, penjual pernak-pernik sering memaksa kami buat membeli dagangannya. Juga para pemandu yang rebutan hingga meloncati taxi yang kami tumpangi. Malah kadang terjadi pertengkaran sesama mereka buat rebutan wisatawan. Kami juga mengalami nasib naas kepada daerah pyramid waktu kusir bendi yang kami tumpangi tiba-tiba menaikkan tarif hingga 2 kali lipat dari kesepakatan awal. Katanya tarifnya dinaikkan karena dia menemani kami bercerita sepanjang bepergian. Di jembatan sungai Nil kepada Kairo, saya pernah memotret rombongan pemuda Mesir yang sedang berkumpul. Mereka mengejar mobil yang kami tumpangi dan hendak merebut kamera. Untungnya seseorang sahabat dapat menjelaskan bahwa saya hanya pelancong biasa, bukan wartawan. Suasana kota Kairo ketika itu memang sangat sensitif, apalagi terhadap wartawan.
Menurut beberapa mitra Indonesia, dulu sebenarnya orang-orang Kairo nir misalnya itu. Revolusi Mesir yang terjadi semenjak 2011 memukul cukup telak ekonomi dan pariwisata mereka. Jumlah wisatawan menurun drastis, dan pekerjaan semakin sulit membangun kompetisi makin sengit. Orang-orang kepada kota akbar menjadi sedikit biadab terhadap wisatawan. Dalam hati, saya berdoa semoga Mesir dapat pulih dan kembali nyaman buat dikunjungi sang wisatawan asing. Bagi saya, Mesir bukan hanya sekedar tujuan wisata, tetapi juga perpustakaan alam bagi arkeolog, sejarawan, budayawan, dan penganut ilmu sosial lainnya bahkan ilmu alam. Sayang cita rasanya apabila perpustakaan ini tak lagi menarik.
Kondisi kepada Kairo jauh tidak selaras dibandingkan Fayoum. Di kota mini ini, saya dan Hashim merasa cukup beruntung dapat merasakan keramahan orang Mesir. Meski revolusi Mesir juga melanda kota ini, tensi nir dengan tinggi kepada Kairo yang adalah kutub politik. Penduduk Fayoum masih cukup giat dengan aktifitas pertanian dan jasanya. Di kota Fayoum ini kami banyak bersosialisasi baik dengan staf pemerintahan, akademisi, hingga praktisi pertanian. Penelitian kami seputar sekolah lapang memperkenalkan kami dengan beberapa penyuluh pertanian. Salah satunya bahkan mengajak kami berbuka puasa ala Mesir dirumahnya. Buka puasa dimulai dengan memakan beberapa biji kurma dan segelas karkadeh, teh ekstrak kembang sepatu yang sangat awam kepada Mesir. Karkadeh bahkan disediakan sang para penduduk kepada pinggir jalan bagi para musafir yang berbuka puasa dijalan. Dan ini diberikan cuma-cuma alias gratis!! Setelah sholat maghrib, kami lalu disajikan dengan aneka macam santapan menggiurkan. Uniknya, kami nir memakai piring. Tuan tempat tinggal menyajikan seluruh makanan diatas nampan akbar. Untuk menyantap makanan tadi, kami masing masing mengambil satu Isy (baca-Eis), roti tipis istimewa arab yang terbuat dari tepung gandum. Karena nir memakai piring, Isy ini diletakkan disisi nampan dihadapan kita masing-masing. Umumnya, Isy menjadi menu pokok pengganti nasi, dimakan beserta dengan lauk misalnya foul medames, sup istimewa arab dengan kacang merah, atau dengan dukkah, sayuran mint yang dicampur dengan aneka macam bumbu. Ada juga Isy yang telah berisi bumbu. Ini dinamakan tomiyah, makanan yang konon sering dirindukan sang alumni-alumni Universitas Al-Azhar kepada Indonesia. Isy sangat gampang didapatkan. Hampir disetiap lorong kepada Fayoum masih timbul industri tempat tinggal tangga yang memproduksi Isy. Harganya pun murah. Saking murahnya, beberapa warung makan menggratiskan Isy bagi pengunjungnya. Meski begitu, nir selamanya makanan pokok Mesir berupa roti. Juga masih timbul koshary, nasi yang dicampur dengan makaroni, mie dan miju, lalu topingnya berupa taburan bawang goreng yang renyah. Koshary ini sangat gampang didapatkan kepada pedagang kaki lima kepada Fayoum. Tidak ketinggalan, tuan tempat tinggal menjamu kami dengan masakan berempah kuat misalnya kaware (sup kikil) dan lahma (semur daging). Seluruh makanan itu disajikan diatas satu nampan akbar. Kami memakannya rame-rame beserta seluruh famili tuan tempat tinggal. Setelah itu kami disajikan makanan epilog. Berbeda dengan makanan pokok yang didominasi rasa asin, hidangan epilog orang Mesir sangat didominasi cantik. Favorit saya ialah kunafa, irisan tepung gandum oven (misalnya mie kering) dicampur madu dan kismis yang cita rasanya sangat cantik. Malam itu cita rasanya kami berpesta mini-kecilan sambil belajar istiadat Mesir. Pertanyaan yang paling dominan kami ajukan ialah Ini namanya apa?. Dan untungnya tuan tempat tinggal serta seluruh keluarganya sangat sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Tak lupa kami juga memperkenalkan masakan dari negara masing-masing apabila timbul yang serupa dengan makanan mereka.
[caption id="attachment_330343" align="aligncenter" width="490" caption="koshary"]
[/caption]
[caption id="" align="aligncenter" width="250" caption="Roti Isy. asal gambar: https://awankecil25.blogspot.com"]
[/caption]
Selain itu, makanan selera kami ialah ayam oven istimewa Fayoum. Ohya, bicara ihwal ayam, Fayoum juga terkenal dengan ayam lokalnya. Salah satu ayam yang berasal dari fayoum ini ialah Fayoumi chicken. Ayam fayoum berukuran mini, berekor tegak, dan berbintik hitam putih. Yang istimewa dari ayam yang sulit dijinakkan ini ialah daya tahannya terhadap penyakit. Konon ayam fayoum ini telah diternakkan kepada Fayoum selama berabad-abad.
The City of Light
Ada juga budaya yang unik ketika ramadhan kepada Fayoum (dan Mesir kepada umumnya) yaitu fanous, lentera yang menerangi malam ramadhan kepada Mesir. Fanous, yang secara harfiah berarti lilin, dinyalakan sepanjang malam didepan tempat tinggal-tempat tinggal penduduk. Ini mengingatkan saya kepada malam tumbilotohe kepada Gorontalo, dimana orang-orang Gorontalo menyalakan lentera didepan tempat tinggal buat memandu orang-orang yang beribadah kepada tiga hari terakhir ramadhan. Bedanya, apabila kepada malam tumbilotohe lentera hanya dinyalakan semenjak malam ke-27 ramadhan, kepada Fayoum lentera menerangi semenjak malam pertama ramadhan. Fanous membangun kota Fayoum nampak senantiasa berderang dan nir pernah lelap. Di Eropa, Paris dikenal dengan semboyan the city of light, kota cahaya yang berderang sang kilauan lampu. Tak galat apabila kepada bulan ramadhan, Fayoum juga kami juluki demikian.
[caption id="" align="aligncenter" width="399" caption="pedagang fanous. asal gambar: https://www.familyholiday.net"]
[/caption]
Terdapat banyak versi mengenai asal muasal fanous ini. Salah satunya menceritakan bahwa budaya lentera ini telah dimulai semenjak jaman Dinasti Fatimiyah. Saat itu sang khalifah memasuki Mesir mutlak kepada bulan ramadhan. Penduduk pun menyambut khalifah dengan menyalakan fanous. Kini, fanous bukan hanya semakin populer, tetapi juga sudah mengalami modernisasi. Suatu kali saya mendekati toko kepada sebuah pasar malam kepada Fayoum yang menjual fanous, dan kaget karena lentera yang dijual sudah dilengkapi lampu dan baterei.
Al-Quran kepada Siang Hari, Tarawih kepada Malam Hari
Sebagai wilayah muslim, warga kota Fayoum umumnya mengisi ramadhan dengan banyak beribadah, galat satunya dengan membaca kitab kudus Al-Quran. Hampir disetiap tempat orang-orang membawa mushaf Al-Quran sebanyak saku hingga gampang dibawa kemana-mana dan dapat dibaca kapan saja. Pernah saya menumpangi Tramco (jenis angkutan kepada Mesir) dari Fayoum ke Kairo, dimana sepanjang bepergian yang sekitar 2 jam, disekitar saya seluruh penumpang membaca Al-quran masing-masing. Suasana hening karena semuanya larut dalam bacaannya. Dimalam hari, warga berbondong-bondong ke Masjid buat melaksanakan sholat tarawih. Sholat tarawih kepada Fayoum sangat panjang. Meski hanya delapan rakaat, ayat-ayat kudus yang dibacakan menghabiskan 1 juz setiap malamnya.
Namun timbul juga pemandangan unik lainnya. Orang-orang Mesir kepada masjid ternyata kerap membawa sandal dan sepatunya hingga kedalam masjid waktu sholat, bahkan ketika sholat berjamaah. Sandal diletakkan bukan hanya kepada pinggir tembok dalam ruang masjid, tapi hingga kepada pilar-pilar Masjid sehingga cukup ganggu nilai estetika masjid dan tentunya, bau. Katanya, ini buat menghindari kehilangan alas kaki yang juga kerap terjadi kepada Masjid. Nah lho.
Kota Pertanian, Buah segar dimana-mana
Saat berbuka puasa, saya dan Hashim menyenangi buah-buahan. Sebagai wilayah pertanian, Fayoum mempunyai cukup banyak buah-buahan lokal yang segar dan enak. Favorit saya ialah anggur, buah tin, serta juz mangga. Untuk urusan anggur, saya berani katakan bahwa saya belum pernah merasakan anggur semanis anggur Fayoum. Sulit dipercaya, cita rasanya misalnya memakan gula saja. Saking nikmatnya, sesudah balik ke Belanda, anggur-anggur kepada Belanda cita rasanya hambar seluruh. Dan tentunya yang pokok ialah harganya yang sangat murah. Aika dirupiahkan, harga sekilo anggur cantik hanya 10.000 rupiah!! Untuk urusan anggur, Hashim sangat pandai menentukan. Katanya beliau sudah terbiasa belanja buah anggur kepada negaranya. Saking hobbinya kami terhadap anggur Mesir, kepada kulkas tempat kami tinggal nir pernah seharipun nir berisi anggur. Aika nir timbul undangan buka puasa, kami berbuka dengan anggur dan juz mangga. Untuk nama yang belakangan ini juga nir kalah nikmatnya. Selain cantik, serat mangganya juga masih sangat terasa kepada kerongkongan. Membuat saya konfiden bahwa juz mangga ini memang benar-benar dari mangga murni. Jus mangga kepada Fayoum dijual bebas dan cukup terjangkau harganya. Kami umumnya membeli satu jerigen ukuran sedang. Ada juga juz mangga yang dicampur dengan buah lainnya dijajakan dipinggir jalan. Yang saya senangi juz mangga disiram sirup, lalu dicampur apel dan anggur, lalu topingnya berupa es krim mangga, celoteh orang Makassar, anynyamanna. Konon, bibit mangga yang dikembangkan kepada Fayoum dibawa sang mantan presiden Soekarno waktu berkunjung ke Mesir dijaman Anwar Sadat, sahabat beliau. Mangga tadi dibudidayakan dan dikembangkan sebagai galat satu komoditi andalan Mesir ketika ini.
[caption id="attachment_330345" align="aligncenter" width="305" caption="Jus mangga campur buah"]
[/caption]
Namun, dantara buah-buahan tadi, yang paling berkesan bagi saya ialah buah kaktus. Orang mesir menyebutnya teen shouky, dan orang barat menamakannya prickly pear (pir berduri). Berada kepada Fayoum memberi peluang bagi saya buat menikmati buah kaktus. Saya diperkenalkan kepada buah ini sang Mohamed, seseorang staf yang bekerja kepada project Fayoum Farmer Field School. Warnanya yang kuning membangun saya awalnya mengira buah mangga. Tapi sesudah merasakan, cita rasanya beda. Selain cantik, buah kaktus juga mengandung banyak air. Buah ini sangat awam dijajakan dipinggir jalan sang penjual gerobak. Konon, teen shouky berkhasiat menurunkan gula darah. Buah ini tumbuh kepada sisi btg kaktus dan berbuah banyak kepada bulan tertentu. Kata sahabat-sahabat kami kepada Fayoum, kami beruntung dapat datang ke Fayoum mutlak kepada musimnya.
[caption id="attachment_330346" align="aligncenter" width="391" caption="Buah teen shouky yang dijajakan dipinggir jalan"]
[/caption]
Bagi saya pribadi, bepergian ke Fayoum bukan sekedar bepergian thesis, tapi juga menjawab rasa bertanya-tanya yang terbawa selama puluhan tahun. Sewaktu SD dulu, almarhum bapak mempunyai buku jadul yang berjudul Kisah 25 Nabi dan Rasul. Sudah nir terhingga berapa kali saya membaca buku tadi berulang-ulang. Kisah Nabi Yusuf as adalah galat satu favorit dalam buku tadi. Buku itu juga alasan saya menggemari sejarah. Mengunjungi pribadi situs sejarah kepada Fayoum memantapkan keyakinan saya akan kisah sang Nabi. Namun, beberapa minggu kepada Fayoum cita rasanya memang tak cukup buat menjelajahi seluruh rahasia kepada kota ini. Meninggalkan Fayoum masih bertumpuk rasa bertanya-tanya yang belum terjawab. Rekan saya, Ahmed mungkin membaca gelagat saya tadi, sehingga beberapa hari sebelum meninggalkan kota Fayoum, Ahmed menyebutkan Zulham, ini bukan perpisahan, semoga anda kembali ke Fayoum suatu hari nanti. Fayoum, Ill be back., batinku.
Baca Juga;
Andalusia: Pesona Sejarah dan Budaya Bangsa Spanyol
Isi Dapur Indonesia Laris Manis kepada Belanda
Lantunan Angklung Bercerita ihwal Budaya Indonesia kepada Belanda
Pasar Malam Indonesia kepada Belanda Perkenalkan Tari Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar