Senin, 22 Januari 2018

Kejanggalan Sudut Pandang dalam Pemberitaan Pusat Kebugaran kepada Kelapa Gading

Kejanggalan Sudut Pandang dalam Pemberitaan Pusat Kebugaran dalam Kelapa Gading

Moral artinya 'kacamata berkualitas di optik tunggal' (baca: sudut pandang) yang dipergunakan banyak kalangan terkait beserta penggerebekan Polres Jakarta Utara terhadap  yang dikenal sebagai-sebut pesta gay bertajuk The Wild One (The Wild One artinya judul lagu penyanyi rock cewek AS, Suzi Quatro, yang dirilis tahun 1974) dalam sebuah ruko yang dijadikan sentra fitness dalam Kelapa Gading, Jakarta Utara (21/5). Akibatnya,  hujatan pun bertubi-tubi terhadap pria yang terjaring razia polisi  itu. Padahal kegiatan mirip itu nir otomatis hanya diramaikan oleh gay (pria beserta orientasi seksual yaitu homoseksual yakni pria yang hanya tertarik secara seksual kepada sosok beserta jenis kelamin rata, dalam hal ini pria).

Tahun 2003 penulis mengikuti kongres kesehatan seksual dalam Manila, Filipina. Oleh seorang sahabat, penulis diajak ke klub gay, yang kala itu menampilkan pria sebagai penari telanjang (striptease). Benar saja dalam sana maupun terdapat wanita mereka mengaku sebagai lesbian dan bahkan pria heteroseksual karena tempat tersebut adalah hiburan malam.

Pesta gay yang dirazia polisi itu dilakukan dalam ruangan tertutup sebagai akibatnya nir pas dikenal sebagai sebagai pornoaksi atau pornografi mirip yang dituduhkan polisi terhadap 141 pria yang terjaring dalam operasi itu. Yang terjaring memang semua pria tapi mereka nir otomatis gay. Ada heteroseksual dan biseksual.

Yang nir masuk logika artinya terdapat pihak yang memublikasikan nama dan foto pria yang ditangkap. Ini adalah perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM karena nir taat asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang berlaku dalam kaidah hukum pidana secara internasional.

Polisi kemudian memutuskan 10 dalam antara 141 pria yang terjaring operasi itu sebagai tersangka beserta tuduhan melawan hukum sesuai beserta UU No 4 Tahun 2008 mengenai Pornografi yakni pasal 30 jo pasal 4 ayat 2 beserta tuduhan membantu kegiatan asusila.

Pemberitaan dalam media pun sangat beragam, tapi semua cenderung menggunakan moral sebagai sudut pandang. Celakanya, banyak wartawan yang menulis info mengenai operasi polisi itu beserta baju moralitas dirinya sendiri sebagai akibatnya nir objektif. Misalnya, menyebut kegiatan itu sebagai kegiatan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Ini keliru karena yang ditangkap polisi semua pria sebagai akibatnya nir terdapat lesbian dan transgender dalam sana.

Dari aspek epidemiologi IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui interaksi seksual tanpa kondom dalam dalam dan dalam luar nikah, al. raja singa/sifilis, kencing nanah/GO, virus hepatitis B, virus kanker serviks, clamidia, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS pria gay nir potensial sebagai penular IMS dan HIV dalam masyarakat. Bandingkan beserta pria heteroseksual yang tidak sporadis melakukan interaksi seksual beserta PSK langsung dan PSK nir langsung beserta indikator istri-istri yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. 

Yang jadi persoalan besar kalau dalam antara 141 pria itu terdapat biseksual sebagai akibatnya jadi jembatan penularan IMS dan HIV dari masyarakat ke grup gay dan sebaliknya, serta menularkan ke istrinya (horizontal) yang berakhir ke anak yang dikandung istrinya kelak (vertikal).

Ada jua wartawan yang mewawancarai tetangga salah satu tersangka yaitu penari telanjang dalam pesta itu. Disebutkan tetangga nir curiga karena pria itu nir gemulai. Nah, inilah salah satu bentuk ketidakpahaman banyak orang terhadap gay.

Beberapa tahun kemudian sebuah koran dalam Jawa Barat menunjukkan bahwa LSM dan MUI Tasikmalaya akan mengobati 500 gay supaya pergi ke jalan yang betul. Ini nir masuk logika karena nyaris tidak terdapat gay yang mau mengakui orientasi seksualnya secara terbuka. Ternyata yang mereka sebut gay itu artinya waria (transgender).

Gay dalam penampilannya artinya pria tulen. Hanya orientasi seksualnya yang tertarik ke pria. Dalam banyak sekali masalah famili tidak sporadis memaksa pria gay menikah yang dalam akhirnya perkawinan itu akan kandas dan berantakan karena nir terdapat dorongan seksual si suami (dalam hal ini pria gay) terhadap istrinya (wanita). Dikawinkan karena yang tampak artinya pria sebagai akibatnya secara awam tentulah menikah beserta wanita.

Yang perlu diperhatikan artinya orientasi seksual, dalam hal ini gay, bukan virus yang sanggup menular. Berteman beserta gay nir otomatis seseorang akan jadi gay jikalau dari awal nir terdapat kecenderungan gay dalam dirinya.

Ketakutan massa dikenal sebagai homofobia yaitu ketakutan yang teramat sangat terhadap kalangan LGBT. Tapi, yang sanggup dipandang beserta kasat mata hanya waria (transgender), sedangkan gay, lesbian dan biseksual sama sekali nir sanggup dikenali dari fisik mereka.

Homofobia jadi faktor yang memicu stigmatisasi (cap nir baik) dan diskriminasi (perlakuan tidak selaras) terhadap kalangan waria karena kasat mata dan terhadap lesbian, gay dan biseksual jikalau dikenali. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top