[caption caption="(Penulis, menurut lobi restoran Hotel Sensa dalam Ciwalk Bandung. Menatap jauh ke horison cakrawala dalam kaki langit Jembatan PASOPATI. Menerawang menuju ke masa kemudian dalam kawasan mahasiswa PLESIRAN & Kebon Bibit dalam kurang lebih jembatan megah tadi / Photo: dok pribadi)"][/caption]
Siapa yang tidak mengenal Cihampelas dalam kota Bandung? Belum ke Bandung nih, kalau belum menyusuri kawasan wisata fashion ini. Begitu kira-kira istilah poly orang. Meski tidak sering: beberapa kali aku mengunjungi galat satu objek wisata terkenal dalam sini misalnya CIWALK (Cihampelas Walk). Mengantar putri sulung remaja aku: Dhinda Ayu Amelia, yang membeli sesuatu dalam mall tadi. Kami kemudian ikut-ikutan nongkrong dalam berbagai cafee dalam sana, sembari menikmati suasana malam Bandung, minum istimewa Taiwan Es Kacang Merah Chamta (Chamta Red Beans) kesayangan kami. Tapi, baru minggu kemudian itulah aku betul-betul mengamati secara detail & agak usang kawasan ini. Itu pun karena sebagai trainer (pengajar) Computer Forensic buat karyawan & staf suatu perusahaan perminyakan, yang menginap dalam Hotel Sensa dalam sana.
Hotel Sensa Unik?
Dari puluhan hotel berbagai bintang yang pernah aku kunjungi, Hotel Sensa yang berbintang 4 ini memang agak tidak sinkron. Selain berlokasi dalam mall Ciwalk, Hotel Sensa juga memiliki desain arsitektur yang unik. Hotel milik keluarga Lisa Subali ini, terdiri menurut 124 kamar yang tarifnya mulai Rp 650.000 sampai Rp 3 juta rupiah per malam itu, didesain dengan garis-garis lengkung & bulat bulat telur, & tidak memiliki sudut sebagaimana umumnnya suatu gedung. Sang arsitek, sepertinya ingin menyesuaikan keberadaan hotel ini dengan lingkungan kurang lebih, yaitu Mall Ciwalk yang sudah terlebih dahulu terdapat, yang didominasi sang garis lengkung & bulat. Namun, dalam beberapa sudut terdapat pula pernik istimewa tradisional SUNDA yang memberi aksentuasi bahwa pemiliknya artinya orang Sunda. Lagu instrumen musik tradisional Sunda pun sayup-sayup terdengar dalam lobi & koridor menuju ke setiap kamar. Tapi yang menciptakan lebih unik menurut semua pernik-pernik ini artinya, view hotel yang menghadap ke kawasan kumuh kost-kostan mahasiswa terkenal dalam kota Bandung, yaitu Plesiran.
[caption caption="(Keterangan photo: Hotel-hotel dalam kawasan Cihampelas Bandung, memiliki view yang terbilang unik: pemandangan perbedaan nyata. Yaitu Jembatan Pasopati yang megah dalam satu sisi, kehidupan hotel berbintangyang mewah, & kawasan perumahan kumuh dalam sisi lain. Yang dalam tengahnya mengalir sungai Cikapundung seakan-akan membelah tingkatan sosial tadi dengan hening. Perumahan kumuh tadi didominasi sang kost-kostan mahasiswa yang datang menurut hampir seluruh daerah dalam Indonesia kuliah menuntut ilmu dalam berbagai kampus dalam kurang lebih Taman Sari & Cihampelas ini. / Text by: Rendra Tris & photo by: Skyscrapercity.com)"]
[/caption]
Hari Jumat itu, tampak berbagai wisatawan lokal & menurut berbagai negara misalnya Singapura, Malaysia & Arab mondar-mandir menginap dalam Hotel Sensa. Saya pun berpapasan dengan seorang anak muda berkulit sawo matang, yang tadinya aku kira peserta training. Ternyata beliau seorang wisatawan Bakcpacker menurut Singapura. Kok, berlibur dalam hari kerja..? tanya aku iseng sembari berjalan. Dia menyambut dengan ramah. Kami dibayar kantor pak. Berlibur sebagai diskon pekerjaan. Ya, terdapat juga kedap dikit.. pungkasnya sembari senyum ramah dengan menggunakan bahasa Inggris Singaporean-nya yang kental. Anda..? tanyanya balik. I am an instructor for Computer Forensic Training on the second floor, jawab aku sekenanya sembari berlalu. Oh..you are a Digital Investigator, arent you..? tanyanya kembali, sepertinya beliau mengerti profesi ini & ingin tahu lebih lanjut.
***
Ya, begitulah!
Akhir-akhir ini memang kota metropolitan ketiga terbesar dalam Indonesia ini, yaitu Bandung, sudah sebagai galat satu tujuan favorit wisatawan. Bukan saja bagi wisatawan keluarga atau pegawai perusahaan yang melakukan aktivitas meeting/seminar/workshop. Namun juga sang anak-anak muda menurut luar negeri, khususnya kawasan negara ASEAN. Sedikitnya terdapat 52 penerbangan menurut Bandung & menuju ke Bandung setiap hari menurut berbagai penjuru dikala ini, istilah Lisa Subali pemilik hotel. Bahkan rute Kuala Lumpur/Johor (Malaysia) yang ke Bandung, sekarang ini sudah hampir setiap hari.
Tampaknya, aktivitas kawasan Cihampelas yang tahun 2006 terlihat sempat lesu itu, kini terllihat lebih semarak. Bukan tidak mungkin, dikala nanti Indonesia masuk ke era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka kawasan Cihampelas ini pun berubah sebagai Legian from Bandung. Penuh dengan berbagai pernik aktivitas hiruk-pikuk anak-anak muda menurut berbagai etnik & bangsa yang berkolaborasi dalam sini, baik secara positif maupun negatif. Kemudian semakin memacetkan jalan Cihampelas yang sebagai galat satu poros jalan primer dalam kota Bandung. Kota Bandung pun mungkin berubah status, menurut kota pelajar mahasiswa sebagai kota wisata internasional, dengan segala hiruk-pikuk kehudpan dugemnya. Cihampelas, yang dalam mulanya merupakan kawasan kost-kostan mahasiswa (golden slumps) itu pun, mungkin akan berubah sebagai enclave masyarakay urban kaum muda. Yang jikalau tidak hati-hati, mempengaruhi tradisi & budaya warga Sunda dalam kawasan ini, sebagai bagain menurut apa yang dinamakan Western Tourism Culture sebagaimana sering kali kita temukan & rasakan dalam Legian, Bali. Dimana hampir semua hal kemudian dalam halalkan & sebagai terlihat "tidak Indonesia" lagi juga tidak apa-apa. Lalu hukum lokal pun (demi devisa), misalnya enggan mencampuri aktivitas & aktivitas anak-anak muda dalam Legian sana. Apapun itu yaang dilalukan mereka!
[caption caption="(Keterangan Photo: Yang menarik menurut mall Cihampelas Walk/CIWALK artinya konsep ruang terbuka yang membelah mall sang hiasan lampu-lampu malam bernuansa romantis. Membuat para pasangan melewati merasa betah berlama-usang sembari duduk & berjalan-jalan menikmati kuliner serta hawa dingin Bandung yang masih terasa sejuk menyelimuti dalam waktu malam... / Text by: Rendra Tris & photo: Klikhotel.com)"]
[/caption]
***
Hari pertama aku mengajar training dalam ruang Frankrut dalam Hotel Sensa ini, terasa misalnya berjalan begitu cepat. Ketika waktu memberitahuakn pukul 12:00, aku & para peserta kemudian Lunch Break menuju ke restoran hotel yang berada dalam lantai 3. Restoran ini terletak dalam pinggir kolam renang. Tampak dalam keramaian restoran tadi berbagai peserta training menurut berbagai perusahaan lain ternyata sudah terlebih dahulu berkumpul sibuk menentukan kuliner mewah yang disediakan. Mungkin hotel Sensa sebagai galat satu hotel favorit aktivitas meeting & training yang diadakan dalam Bandung. Karena lokasinya yang dekat ke mana-mana, istilah seorang peserta training. Jadi, pulang training, sore sampai malam hari, kami masih dapat hangout nih dalam Ciwalk. Menimati dinginnya kota Bandung dengan menjerumput Starbuck, tanpa wajib capek-capek ke mana-mana, jelasnya dikala ngobrol.
Di kolam renang, tampak beberapa anak muda bule sedang asyik berenang dengan kalem & cuek. Tak peduli, puluhan mata memandangnya berenang berbikini. Entah mengapa, selalu restoran & kolam berenang dirancang sedemikian rupa supaya selalu berada dalam lokasi berdekatan. Mungkin, supaya dapat menambah selera makan pengunjung, kali ya? (hehe2..).
Saya kemudian mengambil kuliner istimewa hotel ini, & menentukan duduk dalam luar ruang restoran dalam sisi samping kiri gedung menghadap ke arah Jembatan Pasopati. Jembatan ini terlihat anggun menurut kejauhan. Dulu pungkasnya dibangun dengan dana ratusan milyar rupiah bantuan gratis menurut galat satu negara Arab buat warga muslim kota Bandung. Meskipun jembatan ini hampir setiap hari aku lewati menurut tempat tinggal menuju ke tempat kerja. Namun, belum pernah aku memandangnya dalam waktu agak usang menurut kejauhan begini, & dalam ketinggian misalnya ini.
Ada perbedaan makna lain yang kemudian aku rasakan....
Memandangnya menurut kejauhan, seakan-akan melupakan kemacetan yang sebenarnya tidak henti-hentinya terjadi dalam jalan yang menuju ke arah Dago tadi. Sekali-kali, tampak pesawat yang hendak mendarat ke Bandara Husein, Bandung, misalnya hendak menyentuh ujung tiang tinggi jembatan tadi. Tiba-tiba, mata aku tertuju ke pemandangan konstras sekeliling jembatan Pasopati ini: sederetan atap-atap tempat tinggal kawasan kumuh padat penduduk, yang dikenal dengan nama PLESIRAN. Kawasan perumahan sederhana ini sangat aku kenal. Penduduknya menjalankan kehidupan demikian sederhana bareng dengan para mahasiswa yang tinggal dalam sana. Mereka kebanyakan mendiami tanah yang sebenarnya masih bersertifikat tanah hak milik Pemda Kota Bandung, sehingga sewaktu-waktu dapat saja dalam gusur. Mayoritas mata pencaharian penduduk dalam sini sejak puluhan tahun kemudian, artinya menyediakan kamar kost-kostan murah buat mahasiswa menurut berbagai daerah dalam Indonesia. Mungkin karena berlokasi strategis dekat dengan kampus.
[caption caption="(Keterangan photo: Pada waktu-waktu tertentu, mall Ciwalk yang mewah ini pun dapat berubah sebagai tempat ajang anak-anak muda & mahasiswa Bandung menurut berbagai kalangan berkumpul. Di antaranya, ketika akan menonton konser mini grup band favorit mereka. Atau program gathering tertentu gaya anak Bandung/ Text By: Rendra Tris Surya & photo: bandung.panduan.wisata.id)"]
[/caption]
Kawasan Kumuh Mahasiswa PLESIRAN
Seiring dengan perkembangan munculnya kampus-kampus akbar dalam kurang lebih Cihampelas, maka kawasan Plesiran ini kemudian terkenal dengan sebutan Taman Sari Golden Slump. Mencakup kawasan mulai menurut Kebon Binatang, Plesiran, Kebon Bibit sampai ke Taman Sari Bawah. Meskipun daerah ini kumuh karena kepadatannya yang tinggi, dengan gang-gang mini yang hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau motor. Namun secara generik dikuasai penduduknya unik, yaitu mahasiswa menurut kampus akbar dalam Bandung misalnya ITB, UNISBA & UNPAS.
Ketika memandangi kawasan ini menurut atas, yaitu lantai 3 Hotel Sensa ini, pikiran aku kemudian menerawang ke belasan tahun silam. Tahun 1980, ketika sayamasih remaja baru saja lulus SMA, datang menurut Aceh ke Bandung & tinggal dalam kawasan ini. Saya menempatti galat satu sudut mini sebuah tempat tinggal, tepatnya dalam gang Plesiran no 26 . Sebagaimana mahasiswa umumnya waktu itu. Tak sporadis dalam tempat kost sempit ini kami hanya makan satu kali saja dalam sehari. Karena begitu sibuk waktu yang terdapat habis dengan belajar, mengerjakan tugas & praktek dalam laboratorium. Jadi, sering kali tidak sempat sarapan. Tapi mungkin juga, karena kiriman wesel menurut orangtua yang seringkali tidak agak. Sekali-kali saja, jikalau sedang dapat job tambahan, misalnya sebagai asisten dosen, atau mendapatkan gaji menurut mengajar les matematika ke anak-anak SMP/SMA dalam kurang lebih kost-an. Barulah terdapat uang tambahan buat makan yang sedikit lebih lezat. Biasanya dengan ceria, aku pun berbunga-buinga mendatangi kost pacar, membawa beliau pergi sembari men-traktir makan ke warung-warung tenda dalam kurang lebih Jalan Taman Sari. Kalau sudah begini, makan kerang rebus dengan sambel kacang pedasnya itu, terasa luar biasa nikmatinya.. (hehe2....)
[caption caption="(Keterangan photo: Aliran sungai Cikapundung tampak menurut atas meliuk-liuk membelah melewati kawasan Kebon Binatang, PLESIRAN, Kebon Bibit sampai Taman Sari Bawah. Rumah-tempat tinggal kumuh ini, terutama bagi mahasiswa yang pernah tinggal & kost dalam kawasan ini selama bertahun-tahun: sempurna menyimpan poly cerita! Setiap pagi, biasanya terlihat ramai mahasiswa & mahasiswi berbondong-bondong keluar menurut gang-gang tempat tinggal sempit tadi, menuju ke kampus masing-masing dalam kurang lebih Jalan TamanSari. Pulangnya, seiring dengan dinginnya malam kota Bandung, sering tampak pula dalam tengah malam beberapa mahasiswa menyusuri gang-gang sempit menyeberang sungai ini, mencari Mang tukang sate,nasi goreng atau mie rebus yang sudah terlanjur lewat. Buat mengisi perut lapar dalam tengah malam dalam kesibukkan belajar mengerjakan tugas kuliah / Text by Rendra Tris & photo: Anisavitri.wordpress.com)"]
[/caption]
Sungguh!
Tak pernah dibayangkan sebelumnya, bahwa hari ini aku duduk manis dalam Hotel mewah dalam sebelah kawasan ini. Makan dalam Hotel Sensa, sembari memandang ke kumuhan masa kemudian aku menurut ketinggian. Hotel ini pun sebenarnya dulu merupakan kawasan Golden Slump kost-kostan mahasiswa juga, yangkemudian dibeli diambil alih. Hingga kini, sepertinya suasana mahasiswa dalam sana masih tidak poly berubah. Nongkrong dalam Ciwalk, bagi kebanyakan mahasiswa yang kost dalam Plesiran tadi, merupakan bayang-bayang. Ciwalk buat mereka, seringkali dibayangkan sebagai suatu yang tidak dapat sering-sering dilakukan karena tidak terjangkau. Ciwalk sebagai semacam oase orang-orang kota, tempat rendevouz & bersantai para anak-anak muda kaum borjuis, istilah galat seorang mahasiswa baru ITB yang berasal menurut galat satu pelosok desa dalam Pulau Jawa itu.
Dari pojok pinggir restoran Hotel Sensa, yang menghadap ke arah Selatan ke kawasan tempat tinggal padat kumuh ini, aku pun mencoba mencari-cari: dalam mana tempat kost aku dulu dalam Gang S Kandi II Kebon Bibit itu ? Sambil mengingat masa-masa sulit dulu, dikala-dikala dimana ayam yang dimasak sang pembantu kami (bibi) dalam tempat tinggal kost itu sering wajib dibagi sebagai rabat mini. Saya juga mencari-cari (walaupun tentu saja tidak terlihat). Mana kamar kost dulu yang berukuran 3x2,lima meter itu. Kamar ukuran mini yang terpaksa diisi berdua dengan menggunakan tempat tidur tingkat, buat berhemat porto. Lampu baca yang dijatah dalam kamar itu, hanya berkapasitas 40 watt. Yang akhirnya ikut pula menyumbang semakin tebalnya kacamata berkualitas di optik tunggal minus yang aku pergunakan, sampai hari ini.
Gang-gang mini yang tampak samar-samar menurut kejauhan tadi, mengingatkan aku juga: bagaimana dulu motor GL Merah kesayangan yang sering mondar-mandir menyusuri gang-gang tadi. Menjemput sang kekasih yang juga kost dalam kawasan ini. Dia, kalau sedang ditraktir makan dalam warung tenda dalam Jalan Tamansari, sepertinya suka bukan main. Buat aku, yang lebih menyenangkan justru karena engkau datang menjemput, begitu suatu kali sang pacar mencurahkan ekspresi kegembiraannya. Lalu aku memeluknya, sembari berkata Kamu juga! Kehadiranmu menciptakan rasa bosan aku dalam kampus sebagai terobati. Wah, bukan main! Suatu ekspresi menurut sikap pasangan anak muda (waktu itu), yang polos & begitu sederhana: berkencan hanya dalam warung nasi goreng atau kerang rebus. Spontanitas romantisme ala tempo dulu yang apa adanya, yang mungkin sporadis dapat ditemui lagi dewasa ini. Hm, apa terdapat anak-anak muda sekarang yang mau berkencan dalam warung nasi goreng... ?
City Walk Mall (Ciwalk)
Hari ke 2 aku dalam Kawasan CIWALK menyusuri cafe-cafe yang terdapat: mulai sore sampai malam hari. Toko-toko yang menjual berbagai pernik & kebutuhan anak muda kalangan menegah atas itu, tampak terlihat lebih mahal harganya bagi kantong kebanyakan mahasiswa, terutama mahasiswa yang kost dalam ujung seberang kawasan kumuh Plesiran, Kebon Bibit & Taman Sari Bawah tadi. Tampak mobil-mobil keren parkir dalam Ciwalk, dengan wajah anak-anak muda borjuis yaang bersih berkilau menurut keluarga berada. Lha iyalah pak! Makan & minum disini aja minimal wajib mengeluarkan Rp 100.000 per-orang, istilah seorang ABG yang diajak ngobrol. Tapi tergantung kitanya juga sih, lanjutnya dengan kalem. Kalau cuma sekedar cuci-cuci mata saja, Ciwalk ini ng mahal-mahal amat kok. Malah dapat gratis, hehe2... pungkasnya polos.
Desain gedung mall CIWALK ini juga terbilang unik. Selain dalam dominasi bentuk lengkung & bulat, dalam tengahnya terdapat jalan primer dengan konsep buat berjalan-jalan rendevouz sembari menikmati dinginnya malam dalam udara terbuka. Sekilas mirip dengan konsep mall walk dalam berbagai negara misalnya Rundle Mall, Adelaide, Australia. Di kiri kanannya penuh dengan cafe & restoran yang menyajikan berbagai hidangan Barat, Jepang & Korea yang sebagai kesukaan kuliner umumnya anak-anak muda Indonesia akhir-akhir ini. Kalau siang sampai sore hari, dalam depan CIWALK kadang digelar konser musik juga, istilah galat seorang satpam.
Cihampelas Fashion Street
Keluar menurut CIWALk aku bertemu dengan jalan raya Cihampelas yang padat, yang terkenal dengan berbagai toko fashion kebutuhan anak-anak muda. Dulunya diawali dengan beberapa toko yang menjual celana Jins. Tapi sekarang sepertinya sudah berkembang memenuhi bebagai produk kebutuhan warga muda kaum urban perkotaan. Bukankah, pungkasnya Fakultas Seni Rupa ITB sebagai galat satu kiblat seni dalam Indonesia itu, yang juga pernah mempengaruhi ilham corak desain fashion Cihampelas sehingga memiliki ciri istimewa yang diminati poly anak muda Indonesia? Di jalan ini, terdapat juga outlet J-Co, Baso Malang Karapitan, Starbucks & lain-lain yang melengkapi ke-hiruk-pikuk kawasan Cihampelas dikala ini.
Sambil menikmati udara sejuk malam, aku melanjutkan melangkahkan kaki ke arah utara. Ketika sampai dalam persimpangan perpotongan Jalan Plesiran & Cihampelas, tampak galat satu tempat global dugem anak-anak Bandung yang terkenal, yaitu Studio East. Saya tertekun sejenak dalam depan gedung ini. Pada masa muda dulu, lebih menurut 15 tahun aku mengajar dalam 14 Perguruan Tinggi dalam Bandung. Mulai menurut kampus yang abal-abalan (karena mini & baru berdiri), sampai kampus berkelas internasional. Sekitar 15 tahun kemudian itulah, galat satu kampus abal-abalan tadi mengundang aku buat menghadiri pesta perpisahan mahasiswa wisudawannya dengan menciptakan Farewel Party. Uniknya, program itu diadakan dalam Studio East (tempat dugem) dalam depan aku ini. Rupanya, tempat ini memiliki dwi fungsi: sore sampai malam sampai jam 22:00 merupakan tempat resepsi biasa, yang dapat disewa siapa saja & buat program apa saja. Namun mulai menurut pukul 23:00 ke atas, suasana dalam gedung ini pun akan berubah total, yang dengan cepat sebagai tempat dugem misalnya dimana-mana itu. Pada awalnya aku kaget juga: kok resepsi program formal diadakan dalam tempat misalnya ini? Tapi, mungkin inilah galat satu keunikkan kota Bandung...!
Jam 19:00 para undangan masuk ke dalam gedung Studio East buat memulai program formal. Semua tampak tertib & rapi. Kursi-kursi tersusun rapi dalam ruang akbar yang berada dalam tengah. Lalu dalam anjung, panitia membuka program tadi. Pimpinan Sekolah Tingi berpidato sebagaimana biasanya. Demikian juga perwakilan alumni yang mengenakkan kebaya itu, mengungkapkan kesan-kesannya selama kuliah. Uniknya, dalam galat satu program kampus ini, aku sempat pula diminta tampil dalam anjung bareng mahasiswa menyanyi lagu folk bareng vokal grup mereka. Saya masih jangan lupa: memainkan gitar akustik membawakan lagu Leo Kristi (yang populer dikala itu), yaitu Gulagalugu Nelayan.
Demikian, satu persatu agenda program berlangsung sebagaimana lazimnya sampai penutupan program menjelang pukul 22:00. Setelah program bubar karena jarum jam memberitahuakn pukul 22:00. Maka mulai tampak masuk ke ruang ini berbagai tipe orang yang tidak biasa & tidak aku kenal. Ada wanita yang mengunakan rok mini berbahan kulit dengan dandanan berani. Yang pria, berpakaian jins & jaket kulit. Ruang aula akbar Studio East perlahan-huma berubah fungsi. Ratusan kursi yang terlihat rapi dalam ruang tengah tadi, dipindahkan dengan cepat entah kemana. Ruang tengah itu kemudian tampak kosong. Lampu mulai perlahan-huma sebagai terlihat remang-remang. Lalu satu persatu pengunjung yang tidak dikenal itu, mulai semakin ramai berdatangan ke ruang tengah. Turun melantai bareng terdengarnya musik hingar-bingar menurut sound system yang kemudian diputar dengan keras. Semua yang turun ke lantai tengah itu: bergoyang, tripping & berdisko. Seakan-akan global ini hanya milik mereka. Dan pengunjung lain yang terdapat dalam situ dikenal sebagai hanya menumpang lewat saja.
Di beberapa sudut meja, tampak orang duduk berpasangan, atau berkelompok ngobrol sembari tertawa-tawa tidak terang. Beberapa wanita menatap ke sana kemari misalnya mencari-cari. Beberapa tampak merokok dengan asyiknya, sembari menuangkan minuman... Semua kemudian sebagai terlihat serba perbedaan nyata dengan program sebelumnya. Mungkin, dalam poly hal ekspresi anak-anak muda Bandung ini memang juga serba Kontras..??
***
Malam pun semakin larut. Mata aku mulai semakin berat. Saya kembali ke Ciwalk & Hotel Sensa tempat mengajar tadi. Dari lantai 3, aku menatap kembali ke Jembatan Pasopati dalam malam hari itu. Tampak sinar lampu kerlap kerlip menghiasi kawasan kumuh mahasiswa kost-kostan Plesiran tadi yang sudah tersamar sang cahay rembulan. Tampaknya, mahasiswa dalam kawasan Plesiran itu misalnya tidak peduli juga dengan hingar bingar dalam Cihampelas dalam waktu malam. Padahal, lokasi Cihampelas & global dugem Studo East itu hanya beberapa ratus meter saja menurut kamar belajar mereka. Mereka juga sedang asyik dengan dunianya sendiri. Dunia perkuliahan yang tampak begitu keras. Padat dengan tugas-tugas & waktu buat mempersiapkan laporan praktikum buat esok hari.
Ya, semua anak-anak muda Bandung itu memang sedang sibuk!
Mereka "mengukir" kehidupannya, akan tetapi dengan caranya masing-masing. Ada yang sibuk "membuang" waktunya dengan ber-dugem ria dalam Studio East. Mencari kenikmatan sesaat sembari mengusir rasa jenuh menurut kehidupan rutinnya. Ada juga yang sibuk, karena serius mengukir masa depan dengan belajar tekun dalam kamar kost yang pengab & semoit itu. Mereka yang dalam kawasan kumuh Plesiran itu: seringlali menjalankan kesibukannya dengan sepi. Tanpa iringan musik hingar bingar ala diskotik sebagaimana dalam Studio East itu.
Namun sekali-kali, menurut jendela mini kamar kost mahasiswa itu, tampak juga asap rokok mengepul ke udara menghiasi malam Kawasan Plesiran. Dari jendela kost-an galat seorang mahasiswa itu, kemudian terdengar sayup-sayup musik sirkulasi Slow Rock Classic menurut grup legendaris The YES..... Salah satu grup favorit mahasiwa ITB, yang selalu menemani mereka belajar yang diputar bila sudah tidak dapat lagi berkonsentrasi penuh mengotak-atik & menurunkan rumus-rumus Matematika menurut dosen yang seringkali memusingkan. Mereka acap kali wajib terjaga sampai larut malam...! Sambil memandangi photo sang kekasih yang diam dalam atas meja belajarnya. Sementara, besok dosen killer-nya sudah wajib memeriksa laporannya........
====================
(Hotel Sensa, Bandung, 08-09 Oktober 2015. Penulis: Rendra Tris Surya / Dosen & Trainer, yang mantan mahasiswa Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar