Selasa, 14 November 2017

Alhamdulillah, Akhirnya Lahir Juga ...

Alhamdulillah, Akhirnya Lahir Juga ...
Alhamdulillah, Akhirnya Lahir Juga ...

Ditunggu hingga lepas 16, kalau hingga hari itu ga lahir2 maka harus didrip. Jawaban sms istriku ketika kutanyakan hasil kontrol kandungan kepada Senin, 11 Juni 2012.

Astaghfirulloohal adhieem nas alullooha salaamah wal aafiyah, gumamku lirih.

Drip, drip, drip .. kata itu seolah jadi momok bagiku dan mungkin bagi kaum hawa kepada khususnya. Tak poly yang aku tahu tentang drip. Awal kali dengar kata drip dari adik pas mau melahirkan anaknya kepada Agustus 2007 lampau. Yang aku ingat secara pasti dari beliau, bahwa drip itu sakit. Namun mirip apa sakitnya, aku tak mendapatkan ilustrasi detailnya. Hanya sakit aja ! Melebihi sakitnya orang yang melahirkan secara normal begitu syahdan kabarnya.

Maka begitu dihadapkan kenyataan bahwa istriku harus didrip kalau sang bayi gak mau lahir kepada lepas 16 Juni, perasaan grogi muncul.

Aku sms beberapa teman dekat, meminta kontribusi doa mereka agar proses kelahiran anak kami diberi kemudahan.

Ada satu jawaban yang membikin penasaran. Dari teman dekat sesama arema, Nami Blue namanya. Dia balas kurang lebih, Semoga diberi kelancaran. Dulu istriku juga didrip, malah lebih enak cepat keluar. Sakitnya juga gak lama2

Wah, gak salah baca nih ?! Mayoritas membicarakan sakitnya luar biasa, ini kok membicarakan malah lebih enak didrip ? Esok harinya ketika ketemu di kantor aku tanyakan padanya perihal sms jawaban itu.

Iya bro, istriku dulu melahirkan anak pertama normal sakitnya hingga 24 jam. Lha anak kedua harus didrip, akan namun cuman mencicipi sakit sekitar 4 jam. Bahkan istriku ampe bilang, wah lebih enak didrip aja yah, lebih cepat. Gak terlalu lama mencicipi sakit.

Tapi pungkasnya didrip itu sakit bro? tanyaku lebih lanjut.

Ya mana terdapat sih orang melahirkan gak sakit ?

Betul juga yaa

Jawaban yang memproduksi hati hening. Lebih percaya diri untuk menenangkan hati istri.

Sabtu, 16 Januari 2012

Selepas sholat dhuha aku antar istri kontrol ke Klinik Aisyah Muhammadiyah, Pandaan. Tak pake antre, lantaran ga terdapat yang kontrol. Istri masuk ruangan, aku menunggu di luar.

Sabtu itu suasana sepi. Tak terdapat deretan pasien berjajar di ruang tunggu Poli Umum mirip umumnya. Halaman klinik nan luas, ditumbuhi 3 batang pohon kerres menambah sejuknya suasana. Angin tenggara bertiup membawa dinginnya awal ekspresi dominan kering menyapu kulit yang terasa kering. Orang dusun kami menyebutnya mbediding.

Di seberang jalan, nun jauh di sana sekira 40 kilometer dari tempatku duduk, Gunung Penanggungan kokoh berdiri. Langit yang cerah tanpa balutan awan menambah indahnya suasana. Aku sempatkan merogoh gambarnya dengan ponsel.

Aku lihat istri keluar dari ruang periksa, diikuti mbak bidan. Mereka tersenyum. Belum sempat istriku membicarakan, mbak bidan mendahului Mas, istrinya sudah bukaan dua. Insya Alloh hari ini lahir. Kalau dapat jangan ke mana2, tertentu booking kamar saja.

Alhamdulillaah, semoga dapat normal gak pake drip, ucapku lirih.

Gimana, tertentu tinggal di sini apa pergi dulu? tanyaku.

Pulang dulu aja, masih belum terasa mules2 banget kok. Insya Alloh masih dapat nahan. Nanti mampir ke pasar dulu, beli dawet buat anak2 Jawab istri.

Hati2 lho mas, segera pergi ..Perbanyak jalan, biar sang bayi cepat keluar kata mbak bidan mengiringi langkah kami ke parkiran sepeda motor.

Jam 14.15 aku dibangunkan bunda mertua. Nak, sudah kamu antar saja istrimu ke klinik. Kok sepertinya sudah kelihatan pucat gitu.

Bergegas aku cuci muka. Membawa tas perlengkapan melahirkan, berboncengan ma istri menuju klinik.

Setibanya di klinik Aisyah, ternyata istri sudah bukaan 3. Kami gak boleh pergi, tertentu ngamar. Qoddarulloh, kelas VIP dan kelas I penuh. Hanya tersisa Multazam II, khusus bagi bunda hamil dan atau yang berkaitan dengan kandungan. Mau gak mau, ya tempat itu lah yang harus kami tempati.

Ruangan berukuran sekitar 6x10 meter. Diisi empat tempat tidur pasien, satu kamar mandi. Yang memisahkan antar tempat tidur hanya tirai. Tak terdapat AC, hanya satu kipas angin terpasang di atas tempat tidur A. Ukurannya sedang. Temboknya higienis berwarna biru laut, nampak habis dicat. Dari bawah ampe sekitar 75 cm ke atas, tembok tersebut dipasangi keramik warna yang senada dengan tembok. Meski bukan keramik kwalitas terbaik, setidaknya dapat menambah sejuknya suasana kamar. Istri menentukan tempat tidur C, dengan pertimbangan dekat kamar mandi. Kalau terdapat apa2, tak perlu berjalan jauh. Hanya kami yang berada di sana, 3 tempat tidur lainnya kosong. Alhamdulillaah, dapat tidur pulas neh gumamku. Hehehehe

Teringat setahun yang kemudian, kala aku membezuk Bu Siti tetangga dusun yang sakit kencing manis. Beliau dirawat di bangsal itu. Kala itu bangsal masih difungsikan untuk perawatan semua pasien, bukan khusus persalinan. Yang persalinan tepat berada di sebelah timurnya, berdempetan dengan ruang para perawat. Bangsal Bu Siti (yang kini ditempati istri) dulu masih jelek. Cat tembok kelihatan lama. Sirkulasi udara juga tak baik lantaran ventilasi belum dibenahi dan ditambah. Keramik yang terpasang di tembok (yang berfungsi untuk mengurangi panas) juga belum terpasang.

Pak, istrinya sudah bukaan 3. Nanti sekitar jam tujuh malam kita periksa lagi. Kalau bukaannya gak nambah2, maka tertentu kita drip. Karena ini sudah anak ketiga. Secara ilmu kebidanan, mestinya penambahan bukaannya cepat. jelas Bidan Mira kepada saya yang ikut masuk mendampingi di kamar periksa.

Bidan Mira, umurnya mungkin sekira 30 tahun. Perawakannya tak berbeda jauh dengan istriku. Cara bicaranya tampak hati2, ditata urut. Setiap akan membicarakan suatu hajat, misal perkembangan kandungan, persoalan obat, porto dan lain2 beliau selalu mendahuluinya dengan kata maaf. Secara keseluruhan, penilain saya bahwa Bidan Mira termasuk orang yang (terlalu) berhati2, kurang berani merogoh resiko. Itu yang aku tangkap di awal pertemuan itu. Tapi aku dapat menyadari, lantaran pekerjaan bidan bukanlah main2. Ini persoalan nyawa, baik nyawa sang bunda juga si janin. Dibutuhkan tingkat kehati2an yang tinggi. Kalau sekali saja beliau salah ambil keputusan dan berakibat kemudhorotan bagi sang bunda juga si janin, mau tidak mau beliau ikut bertanggung jawab. Dan dapat jadi terseret ke ranah aturan jika keluarga pasien tidak terima.

Selepas isya istri masuk kamar periksa. Aku yang baru tiba dari masjid, menemui bunda dan bapak mertua di ruang tunggu. Di sana sudah terdapat rofiq dan harits. Mereka berdua asyik main di halaman, kejar2an ma kucing.

Lima menit berikutnya, aku dipanggil istri masuk ke ruang periksa.

Pak, bukaan mbak-nya gak nambah2. Tetap di bukaan 3. Mestinya, untuk anak ketiga, dalam kurun waktu empat jam harus terdapat penambahan bukaan. Maka ini harus didrip.

Ya udah mbak gak papa, emang jalannya kaya gini, jawabku dengan perasaan sedikit grogi.

Mbak-nya gak usah takut, kalem dan rileks aja. Karena kalau mbak-nya tegang, bayinya jadi ikut tertekan. Nanti malah ga dapat keluar, kata Bidan Mira kepada istriku yang terlihat pucat.

Pak, ini nanti kita konsultasikan via telpon dengan Dokter Spesialis kandungan dulu (beliau menyebut nama sembari indikasi kepada selembar kertas semisal piagam yang sudah dipigora dan terpajang di dinding). Kita menuruti bagaimana arahan dari dokter. Hal ini meliputi takaran infus, obat, dan tindakan medisnya, Bidan Mira sembari menyodorkan beberapa lbr surat yang harus aku tanda tangani. Aku tak membacanya, tertentu kububuhkan tanda tangan. Paling2 isinya ya persetujuan tindakan medis ini dan itu aja, standart.

Kupandangi istriku yang duduk persis di sebelah Bidan Mira. Tak terdapat secercah senyuman. Tak terdapat warna kebahagiaan menyambut sang jabang bayi. Jilbab ungu yang dipakainya semakin menambah suram warna mukanya. Layaknya orang yang sedih, pucat pasi. Aku sendiri tak tahu apa yang terdapat di pikirannya. Namun dari sorot matanya aku dapat menangkap sebuah pesan, bahwa dirinya takut. Tak siap dengan semuanya. Aku berbaik sangka, bahwa ini semua lantaran fakta salah tentang drip yang masuk ke dalam otaknya. Satu hal yang pernah aku dengar darinya, bahwasanya drip lebih sakit dari melahirkan normal. Temannya dulu terdapat yang didrip, membicarakan bahwa sakitnya minta ampun. Adik ponakannya demikian juga, pernah didrip. Ceritanya pun sama, sakit. Bahkan bunda mertua dulu ketika melahirkan adik istriku juga didrip. Katanya sakit juga. Lengkap sudah Percuma bagiku menjelaskan padanya kalau drip itu tidak sakit.Meski sudah aku katakan padanya tentang istri temanku, Nami Blue, yang merasa lebih enjoy dengan lahir didrip, pendiriannya tak goyah.

Setelah menyusun berkas2 yang aku tanda tangani dalam satu map merah muda, Bidan Mira melanjutkan penjelasannya, Mbak gak usah takut. Rileks saja, biar adiknya yang di dalam perut tidak tertekan. Kalau adiknya tertekan nanti malah gak dapat keluar. Ya memang didrip itu lebih sakit dari melahirkan normal, akan namun mbaknya ga usah takut. Santai aja.

Ehmmm, diri ini sudah tertekan melihat istri yang pucat pasi, bertambah emosi lagi demi mendengar ucapan Bidan Mira.

Begini Pak, semua kita sebaiknya lahir normal dengan cara dibantu dengan rangsangan sintesis ini. Tapi kalau nanti di tengah jalan tidak berhasil, maka operasi menjadi jalan terakhirnya.

Kala itu emosiku meledak. Tapi aku tidak mau membikin keruh suasana dengan mendebat Bidan Mira. Aku iyakan semua yang dikatakannya dengan dada bergemuruh.

Bidan Mira meninggalkan kami berdua di ruang pemeriksaan. Dia menuju ruang perawat, menghubungi dokter spesialis kandungan meminta petunjuk arahan untuk penanganan kelahiran anakku. Tindakan drip segera dilaksanakan.

Maka sebelum Bidan Mira kembali ke ruang pemeriksaan, aku putuskan untuk membatalkannya. Mungkin lebih tepatnya menundanya hingga besok pagi. Aku memutuskan itu tanpa bicara dengan istri !

Kenapa aku putuskan demikian ? Pertama, istri kelihatan masih shock dengan tindakan drip. Tidak mirip anak pertama dan kedua yang berjalan alami dan alhamdulillah lancar. Kedua, aku pribadi merasa kurang cocok dengan Bidan Mira. Ya memang betul beliau bersikap sopan, celoteh pungkasnya halus, dan berbicara dengan hati2. Tapi yang kubaca dari semua ucapannya itu bahwasanya beliau tidak konfiden dengan kemampuannya sendiri dalam membantu kelahiran anak ketigaku. Belum apa2 sudah membicarakan bahwa nanti kalau tidak berhasil akan dioperasi. Lha ini proses drip belum berjalan, kok sudah bicara operasi ?! Dan tak tepat juga beliau membicarakan begitu kepada istriku yang sudah kelihatan shock. Semua orang pun sudah paham, kalau gak dapat normal ya pasti operasi. Itu sudah sunnatulloh. Tak usah disampaikan pun semua orang paham. Kalimatnya beraura negative, pesimis.

Coba bedakan kalimat berikut dengan kalimat Bidan Mira Mbak meski nanti kalau tidak berhasil tetap harus operasi, akan namun saya akan berusaha aporisma membantu mbak agar dapat lahir normal.Kalimat ini lebih membawa energi positif. Membawa nada optimisme.

Sama mirip kalimat ini, Hal ini dapat dilakukan, akan namun sepertinya sulit dibandingkan dengan Meski hal ini sulit dilakukan, akan namun saya akan tetap mencobanya hingga dapat. Dua kalimat yang intinya sama (yaitu melakukan dan sulit), akan namun ketika susunannya diubah maka kesan yang ditimbulkan pun berbeda.

(Teringat faedah dari Syeikh Robi ketika membantah kaedah bathil muwazzanah, bahwa ketika seseorang menyebutkan kejelekan2 ahlul bidah maka harus disertai juga dengan menyebutkan kebaikan2nya. Maka Syeikh Robi menyatakan, baiklah kalau pun toh kaedah itu diterima, maka sebutkanlah kebaikan2 mereka dahulu baru kemudian diakhiri dengan menyebutkan kejelekan2nya. Hal ini pernah juga aku dengar dari Ustadz Afif)

Hal ketiga yang mendasariku menunda drip itu, bahwa sudah tidak terdapat rasa saling percaya antara kami dengan Bidan Mira. Ketika rasa percaya itu sudah tiada, apalagi yang mau diperlukan ?? Istilah orang sekarang itu gak terdapat chemistry, tidak dapat soul-nya, hehehhe Dengan menundanya hingga besok pagi, dapat berharap terdapat pergantian shift bidan.

Perlu digarisbawahi, aku tidak menyalahkan Bidan Mira atau pun menyangsikan kemampuannya. Itu murni evaluasi subyektif dariku. Yang membuatku tidak sreg ialah cara penyampaian beliau, yang menurutku kurang cocok dengan ciri diriku dan istriku. Bukan gua banget, kata anak sekarang. Mungkin cara penyampaian mirip Bidan Mira itu dapat cocok untuk orang lain yang tak setipe denganku. Ibaratnya mirip pengajar. Ada kalanya aku cocok dengan pengajar A, lantaran enak dalam mengajarkan. Tidak cocok dengan pengajar B, lantaran terlalu bertele2 dalam membicarakan. Tapi hal ini tidak berlaku bagi temanku yang beliau lebih menyukai pengajar B daripada pengajar A. Dalam hati mungil membicarakan, Bidan Mira ini mungkin lebih cocok utk tindakan pasca kelahiran.

Setelah terselesaikan telpon ke dokter kandungan, Bidan Mira kembali ke ruang periksa. Aku tertentu membicarakan padanya, Maaf mbak, saya minta tindakan drip ditunda dulu hingga besok pagi.

Tapi ini saya sudah konsultasi ke dokternya, Pak

Iya gak apa2, nanti saya bayar porto konsultasinya, jawabku.

Dalam hati kecilku terus berdoa, semoga dapat lahir normal. Mungkin dengan menunda drip, kali aja terdapat keajaiban anakku lahir normal malam harinya dengan mengharap barokah bahwasanya malam itu ialah 27 Rojab, malam isra miraj. Yang lebih penting lagi, aku ingin memulihkan psikis istri yang remuk redam. Masih terdapat waktu untuk bicara dari hati ke hati memulihkan kepercayaan diri menghadapi persalinan, apa pun kondisinya.

Bapak bunda mertua dan anak2 pergi sesaat sehabis kuputuskan penundaan drip. Aku dan istri menuju bangsal. Hening, hanya terdapat kami berdua. Jiwa ini sudah pasrah, totally surrender Bila sebelumnya hati mungil ini ingin istri melahirkan normal tanpa operasi, kali ini sudah tak terdapat keinginan itu lagi. Semua kupasrahkan kepada-Nya. Terserah Alloh mau bagaimana, Dia yang Maha Berkehendak. Mau normal, mau drip, mau operasi terserah. Aku sudah pasrah. Hanya satu yang kupinta, berikan kemudahan dan jalan yang terbaik. Kalau aku berdoa meminta anakku lahir normal, belum tentu itu baik bagiku, bagi istri dan bagi janin. Bisa saja kelahirannya dipersulit begini dan begitu.Segala kemungkinan itu terdapat. Aku juga memalukan, berdoa kok seolah mendikte Alloh. Seolah kita lebih tahu dari-Nya. Seolah kita tahu bahwa lahir normal lebih baik daripada drip atau bahkan operasi. Bukankah Alloh menyatakan dalam surat Al Baqoroh yang kurang lebih artinya Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi (juga) kamu menyukai sesuatu, padahal dia amat jelek bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Semua kupasrahkan kepada-Nya.

Abu Rofiq, apakah setiap kelahiran anak itu sudah tercatat di catatan taqdir ?, tanya istri memecah keheningan.

Yup, itu sudah pasti

Termasuk juga bagaimana beliau lahir ? Apakah beliau normal, drip ataukah operasi ?

Yup, semuanya sudah tercatat dan sudah terselesaikan urusannya sebelum sang bayi itu lahir.

Apa nama Alloh yang artinya Maha Memudahkan segala urusan ?, tanya istriku.

Ditanya mirip ini aku gelagapan. Wong aku gak hafal asmaul husnaa, juga gak dapat bahasa arab. Yang aku dapat cuman thoyyib, naam, laa, khoir, kaif, abi, ummi, qiqiqii Tapi aku teringat pembahasan kitab riyadhus sholihin (disampaikan oleh Ustadz Khidhir) yang aku dengarkan beberapa hari sebelumnya. Pembahasan tentang 3 pemuda yang terjebak di dalam gua. Singkat cerita, dalam doanya mereka membicarakan Alloohumma.

Kata Allohumma terdiri dari Alloh dan mim yang ditasydid. Asalnya ialah Yaa Alloh, yang artinya saya menyerumu/ memanggilmu Yaa Alloh. Dan memang harusnya mirip itu, kata panggil dulu baru yang dipanggil. Contoh Yaa Muhammad, Yaa Ali. Kalau dalam bahasa Indonesia mungking mirip Wahai Muhammad, Wahai Ali. Maka tidak cocok kalau Muhammad wahai, Ali wahai. Tetapi dalam doa, sangat beradab kalau tertentu nama Alloh yang terucap. Nama Alloh yang dikedepankan dan kata panggilnya diakhirkan akan namun dirubah bentuknya menjadi mim bertasydid. Sehingga terjadilah perubahan bentuk, sesuatu yang asalnya di akhir dikedepankan. Ini maknanya pengkhususan, maka terjemahan Allohumma yang sahih ialah hanya kepadaMU Yaa Alloh saya meminta, tidak kepada selainnya. Ini sama mirip dalam surat Al Fatihah kepada ayat Iyyaka nabudu. Kalau grammar normal mestinya nabudu iyyaaka.

Faedah selanjutnya, dalam kata Allohumma terdapat huruf mim yang ditasydid. Dalam bahasa arab, kata-kata yang diakhiri dengan mim tasydid indikasi banyaknya, luasnya cakupannya. Karena itulah, kita meminta dengan permintaan apa pun juga dengan Allohumma cocok jadinya, alasannya adalah beliau melingkup semuanya.

Ar-rohman artinya maha merahmati, Ar Rozaq maha member rizqi, Al Ghoniy maha kaya dan sebagainya. Lalu apa artinya Alloh ? Berakar kata dari uluhiyah, maknanya sifat yang kepadaNYa diserahkan ibadah. Jadi artinya Yang Maha Berhak untuk diibadahi.

Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa makna Alloh ialah nama yang seluruh makna yang terdapat kepada nama2 dan sifat Alloh kembali kepada-Nya. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Alloh memiliki nama2 yang cantik, maka berdoalah melalui nama2NYA. Maka adab dalam berdoa, harus dengan nama2 Alloh. Dan aturannya, nama yang didasarkan  dengan permintaan. Misal kita meminta rizqi, kita pakai Yaa Rozzaq. Minta ampunan, Yaa Ghofuurur rohiim.

Lalu bagaimana kalau kita tidak tahu nama Alloh ? Seperti dalam kasusku kali ini ketika istri tanya nama Alloh yang artinya Maha Memudahkan. Maka cukuplah dengan Allohumma, beliau sudah meliputi segala nama dan sifat Alloh.

Ada benarnya juga Nabi kita poly mengajarkan dalam doanya dengan dengan kata Allohumma. Karena dapat diperkirakan bahwa ummatnya hanya sedikit yang hafal dan paham asmaul husna.

Cukup katakan Allohumma, lantaran itu sudah meliputi seluruh nama dan sifat Alloh, jawabku.

Jam 9 malam pergantian shift bidan. Kali ini yang menangani Bidan Nia. Perawakannya mungil, lebih mungil dari istriku. Juga lebih pendek dari Bidan Mira. Pembawaannya ceria, bicaranya ceplas ceplos khas orang jawa timur terkhusus malang Surabaya. kacamata berkualitas di optik tunggal minus menghias di wajahnya.

Permisi mbak, mau kita control dulu perkembangannya, pungkasnya sembari mempersiapkan alat-alat. Dia ditemani seseorang bidan magang. Aku tahu dari pakaiannya, warna putih. Artinya beliau sedang magang, kalau pegawai pakaiannya warna ungu.

Mbak gak usah takut, kalem saja. Rilekss biar adik yang di dalam gak ikut tertekan. Gak usah risi, di sini sudah sering menangani drip dan Alhamdulillah selama ini berhasil semua. Dan yang namanya didrip, insya Alloh pasti keluar bayinya,. Saya mendengarkannya dari balik tabir.

Yess, ini bidan yang saya cari ! pekik saya dalam hati. Bidan yang optimis, berpikiran positif, mampu mempengaruhi sang pasien. Memberikan semangat baru kepada istriku. Saya dapat mencicipi vibrasi semangat itu.

Sepeninggal Bidan Nia, istriku tampak lebih hening. Sudah siap dengan segala yang dihadapi. Kemungkinan terburuk operasi pun beliau sudah siap.

Aku sekarang lebih hening. Aku Cuma berdoa agar diberi kekuatan menghadapi semuanya, dapat tabah, dan semoga diberi kelancaran. Normal, drip atau operasi aku sudah siap, kata istriku sebelum tidur.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagiku. Jarum jam indikasi pukul sepuluh malam. Mata ini belum juga terpejam. Bertanya2 dalam hati, kenapa kelahiran anak ketiga kali ini sulit ? Bahkan lebih sulit dari anak pertama. Dulu Rofiq nisbi lancar. Mulai terasa kontraksi berat jam 11 siang, jam 13.30 sudah lahir. Harits bahkan gak terdapat satu jam. Teringat sebuah ayat dalam Al Quran yang kurang lebih artinya, musibah apa yang menimpamu itu berasal dari tanganmu. Ehmm kalau lah sulitnya kelahiran anak ini ialah sebuah musibah, pasti terdapat salah kepada diriku.

Aku tidur di ranjang B, di sebelah barat tempat tidur istri dalam posisi berbanjar. Bukan kasur, hanya matras dilapisi pembungkus dari bahan semi kulit. Dingin. Membolak balikkan badan ke kanan danke kiri. Mencari tahu, apa kira2 kesalahanku yang terhitung fatal. Ehhm, teringat insiden sekitar bulan Mei tepat di bulan ke delapan kehamilan istri. Ya, mungkin itu lah batu pengganjal munculnya anakku. Astaghfirulloohal adhiem yaa sepertinya ini. Aku banyak2 beristighfar memohon ampun kepada-Nya.

Sebelum kupejamkan mata, aku ambil ponsel di meja sebelah. Aku setting alarm jam 2.30. Aku ingin sholat malam, memohon kelancaran kepada-Nya. Begini lah sifat dasar insan, kalau sudah kepepet tanpa disuruh pasti tertentu ibadah pol-polan ! Giliran dalam keadaan lapang, poly yang lupa. Betapa hinanya diriku Tak lupa juga aku kirimkan sms kepada teman2. Aku minta doa mereka. Bertubi2 sms balasan masuk, akan namun aku tak menggubrisnya. Aku capek, ingin rehat

Tidur yang tak jenak. Tiap 30 menit sekali terbangun. Kulihat istri di sebelahku, sama saja. Tidurnya pun resah, tak dapat pulas. Membolak balikkan badan ke kanan dan ke arah kiri. Sebelum alarm berbunyi aku sudah bangun. Kulihat masih jam dua dini hari. Terdengar di luar suara orang sedang menyaksikan tayangan EURO 2012. Diriku tetap di atas tempat tidur, terlentang menghadap langit2. Yaa Robb, ampuni aku desisku pelan. Aku tak dapat tidur lagi, akan namun juga tak segera bangun. Hanya berdzikir sembari memandangi langit2 ruangan.

Tepat jam 3 aku bangun, mendekati istri. Mi, aku ke mushola dulu. Mau sholat. Nanti kamu nyusul yaa ...

Iya, nanti aku susul.

Tak pernah aku mencicipi sholat (di luar ramadhon) sekhusyu ini. Seolah aku bicara berhadapan tertentu dengan Alloh. Untaian ayat dan dzikir yang keluar dari lisan, aku biologi betul maknanya. Betapa nistanya diri ini ! Mengiba2, merengek2 kepada Alloh di kala membutuhkanNYA ? Ke mana saja diri ini kala lapang ??!! Maluuuu tak sebanding antara harap dan syukurku. Sebagai model idealnya antara harap dan syukur terdapat kepada diri Nabi. Ketika beristighotsah menjelang perang Badar, beliau berdoa dengan penuh kekhusyuan hingga sorbannya jatuh. Dan di kala lapang, beliau sholat malam hingga kakinya bengkak. Ketika Aisyah bertanya, kenapa sholat hingga mirip itu padahal Alloh sudah mengampuni dosa yang sudah kemudian dan yang akan tiba ? Maka Nabi menjawabnya kurang lebih Apakah aku dihentikan menjadi hamba yang bersyukur ? Ini lah yang sahih ! Seimbang antara harap dan syukur. Maka benarlah ketika Alloh berfirman fadzkuruuni adzkurkum, ingatlah padaKU maka Aku akan meningatmu. Juga dalam hadits yang kurang lebih artinya, ingatlah Alloh di kala lapang maka Dia akan mengingatmu di kala susah.

Dini hari itu aku banyak2 memohon ampun. Aku tak berdoa agar anakku lahir normal, berbeda sekali. Aku sudah pasrah. Aku cuma berdoa agar diberikan yang terbaik. Kalau yang terbaik ialah operasi, monggo silahkan. Aku sudah siap semuanya. Permintaan yang mendikte Alloh dini hari itu sudah tiada lagi. Aku serahkan semua padaNYA. Terserah apa mau Alloh normal, drip, atau operasi.

Selayaknya kisah 3 pemuda di dalam goa yang menyebutkan amal sholeh mereka di dalam untaian doa mereka (dan ini termasuk wasilah yang diperbolehkan dalam syariat), aku pun ingin menyebutkan amal solehku. Amal soleh yang bener2 lapang dada lantaran Alloh, itu kondisi mutlaknya. Aku gundah, amal yang mana ? Kok rasa2nya tidak terdapat yang murni lantaran Alloh. Semua terdapat tendensinya. Aku tak konfiden amalku diterima olehNYA. Ah, betapa celaka diri ini tak memiliki tabungan amal soleh. Teringat dalam kajian ustadz Muhammad As- Sewed tentang kisah salah seseorang ulama salaf, terdapat yang pernah membicarakan Kalau aku mengetahui satu saja dari amalku diterima oleh Alloh, aku ingin mati ketika itu juga !. Sekelas para pendahulu saja mirip itu, apalagi aku ??

Ehhmm, aku tidak berani menyebutkan amalku, meski hanya satu. Aku tak konfiden apakah itu murni lantaran Alloh ataukah tidak. Kemudian aku teringat tentang kisah Ulbah bin Zaid dalam tragedi Perang Tabuk. Nah, ini mungkin yang dapat aku pakai menjadi wasilah Maka dini hari itu juga, aku berdoa sebagaimana doanya Ulbah bin Zaid. Dan berharap semoga Alloh menerimanya.

(Untuk kisah Ulbah bin Zaid, silahkan googling sendiri yaaa )

Sekitar 30 menit kemudian terlihat istriku tiba. Dia sholat di belakangku. Aku sendiri baru saja menyelesaikan dua rokaat pertama. Tak segera melanjutkan sholat berikutnya, hanya duduk berdzikir. Kudengar isak tangis istriku. Kadang mirip tangis yang tertahan, tersekat, tak mampu keluar dari leher. Aku toleh, sujudnya lama. Selepas salam, beliau tak tertentu berkecimpung. Berdzikir. Kulihat air matanya meleleh .. tersedu sedan. Aku tak tahan melihatnya, ikut meneteskan buliran air mata juga. Istriku kembali ke bangsal terlebih dahulu, sedang aku menunggu hingga menjelang subuh.

Lima menit sebelum adzan subuh berkumandang, aku bergegas meninggalkan mushola. Mau ambil kontak motor di tas. Kulihat istriku tertidur lelap. Betul2 terlelap, tak mirip tidur beberapa jam kemudian yang selalu resah. Sengaja aku tak bangunkan meski sudah terdengar adzan subuh. Aku biarkan beliau istirahat. Biar kubangunkan nanti setibaku dari masjid.

Jam 7 istriku diperiksa. Kali ini sudah ditangani oleh Bidan Arik yang menggantikan shift Bidan Nia. Bidan Arik ini dulu yang membantu persalinan Harits, anak kedua kami. Ternyata hingga jam 7 bukaan masih 4. Mau tidak mau tindakan drip harus segera dilaksanakan.

Infus terpasang. Aku menunggui istri di sebelahnya sembari tak henti2nya lisan ini berdzikir. Aku membaca Al Quran dari ponsel. Kadang aku berhenti membaca Al Quran, sekedar ngobrol dan bergurau dengan istri. Dengan keinginan beliau dapat hening menghadapi persalinan. Jam 8.30 aku minta ijin sholat dhuha ke mushola. Aku tinggal istri sendirian di kamar bersalin.

Ketika balik lagi ke kamar bersalin, istri memberitahukan bahwa ketuban sudah pecah. Segera aku hubungi bunda mertua. O ya, di klinik Aisyah ini laki2 (meskipun itu suami) dihentikan mendampingi persalinan istri.

Begitu bunda tiba, aku balik lagi ke mushola. Berdoa habis2an demi kelancaran persalinan anakku. Aku berpesan kepada bapak mertua, kalau terdapat apa2 jemput aku di mushola. Jam 10.15 bapak menjemputku dengan tergopoh2.

Segera aku masuk ruang bersalin. Aku lihat istriku mengerang menahan sakit sembari berpegangan kepada bunda mertua. Yang aneh, bidannya tidak terdapat ! Segera aku keluar. Dan aku berpapasan dengan Bidan Arik tepat di depan pintu kamar bersalin.

Mbak, tolong istriku kayanya sudah mau melahirkan, aku 1/2 berteriak kepada Bidan Arik.

(belakangan aku dikasih tahu, ternyata bidan memperkirakan anakku lahir tak secepat itu. Makanya beliau berani meninggalkan istriku di kamar bersalin).

Tepat jam 10.30 anakku lahir. Alhamdulillah, semua dimudahkan oleh-NYA. Segala puji hanya untuk-MU Yaa Robb

NB : nama bidan bukanlah nama sebenarnya .

Hayyan

Selesai ditulis di Surabaya, 1 Syaban 1433 H/ 21 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top