Rabu, 24 Januari 2018

Kepentingan keluarga, bahaya laten serta bom ketika perusahaan

Kepentingan keluarga, bahaya laten & bom waktu perusahaan

Ada sebuah mitos yang menempel dalam bisnis perusahaan keluarga. Bunyinya demikian "Generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, generasi ketiga menghancurkan". Mitos itu nir sepenuhnya benar jikalau melihat sederet perusahaan keluarga yang masih bertahan dalam Indonesia.

Cukup poly bendera perusahaan keluarga berkibar & berjaya dalam tengah persaingan. Mereka melebarkan sayap bisnis dengan melahirkan anak perusahaan, membangun kantor cabang atau pabrik dalam kota-kota besar dalam Indonesia. Keberhasilan itu bukan semata-mata lantaran faktor pakar waris tapi pula strategi yang pasti mengelola perusahaan keluarga.

Namun nir bisa dikesampingkan muncul faktor-faktor yang menghasilkan kerajaan bisnis perusahaan keluarga bisa berada dalam ujung tanduk. Ahli waris perusahaan keluarga wajib cakap menghadapi persoalan & jeli melihat peluang buat melebarkan sayap bisnis. Kalau nir fokus membangun bisnis, maka perusahaan keluarga yang dirintis selama bertahun-tahun bisa tinggal cerita buat anak cucu.

Chairman Blue Bird Group Holding Bayu Priawan Djokosoetono mengakui, selama meneruskan tongkat estafet perusahaan keluarga, nir selalu berjalan mulus. Kekhawatirannya justru tiba berdasarkan internal keluarga. Di mana kepentingan keluarga menjadi bahaya laten serta bom waktu yang menghasilkan umur perusahaan tak bertahan usang.

Diakuinya, poly perusahaan keluarga yang kolaps lantaran ditunggangi kepentingan keluarga ketimbang kepentingan yang lebih besar.

"Banyak kan perusahaan keluarga yang bangkrut itu lantaran adanya kekuatan-kekuatan pribadi yang seolah-olah punya kepentingan dalam pengelolaan bisnis tadi. Abuse of power kalau dalam istilah kerennya jadi bikin poly perusahaan yang kolaps," kentara dikala berbincang dengan merdeka.com dalam Jakarta, Kamis (28/5).

Dia sadar betul, perusahaan wajib dilindungi & dijauhkan berdasarkan 'bahaya laten' kepentingan keluarga. Karena itu Bayu mengaku tak pernah meletakkan faktor korelasi darah menjadi dasar sebuah keputusan perusahaan.

"Kepentingan pribadi nir akan pernah diakomodir. Ambil keputusan pun bukan keputusan pribadi. Kita putuskan mana yang baik buat perusahaan. Itulah kenapa kami berkembang dikala ini & bisa survive," paparnya.

Perencana Keuangan Aidil Akbar melihat, bisnis keluarga rentan kolaps. Ambruknya perusahaan keluarga bisa disebabkan lantaran pengelolaannya masih menggunakan budaya keluarga. Itu bisa dipandang jikalau anggota keluarga mencoba mengintervensi keputusan perusahaan.

"Mereka poly yang masih menerka bisnis ini ialah bisnis keluarga," ungkap Aidil.

Potensi kegagalan mempertahankan umur perusahaan keluarga pula bisa tiba berdasarkan ketidakmampuan pakar waris perusahaan keluarga bersaing dalam global bisnis yang semakin berkembang pesat & mengandalkan teknologi serta penemuan.

Ketinggalan dalam pemanfaatan teknologi & penemuan bisnis menjadi ancaman dalam kemudian hari.

"Biasanya bisnis keluarga itu selalu bertahun-tahun & setiap tahun beda teknologi, wajib ikuti perkembangan teknologi yang muncul jikalau bisnisnya nir mau kolaps. Rata-homogen kesalahan itu yang menghasilkan perusahaan keluarga kolaps," imbuhnya. [noe]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top