Minggu, 11 Februari 2018

Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Metakognisi Susi Pudjiastuti

Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, serta Metakognisi Susi Pudjiastuti

                                  Rhenald Kasali
                               (@Rhenald_Kasali)

KOMPAS.com  Saya kebetulan mentor bagi dua orang ini: Dian Sastro serta Mooryati Soedibyo. Akan akan tetapi, pada Susi Pudjiastuti yg kini sebagai menteri, aku justru belajar.

Ketiganya wanita hebat, akan tetapi selalu diuji oleh sebagian mini orang yg mengaku pintar. Entah ini stereotyping, atau soal buruknya metakognisi bangsa. Saya kurang memahami persis.

Mooryati Soedibyo

Sewaktu diterima di acara doktoral UI yg pernah aku pimpin, usianya ketika itu telah 75 tahun. Namun, tidak selaras bareng mahasiswa lain yg tiba pakai jins, dia selalu berkebaya. Anda tentu memahami berapa lama waktu yg diharapkan buat berkebaya, bukan?

KOMPAS/AGUS SUSANTO Mooryati Soedibyo, pengusaha jamu serta kosmetika tradisional
Akan akan tetapi, beliau mempunyai hal yg tidak dimiliki orang lain: self discipline. Sampai hari ini, dia merupakan satu-satunya mahasiswa aku yg tidak pernah absen barang sehari pun. Padahal, ketika itu beliau salah satu pimpinan MPR.

Memang beliau tampak sedikit kewalahan "bersaing" bareng rekan kuliahnya yg jauh lebih muda. Akan akan tetapi, rekan-rekan kuliahnya mengakui,  kemajuannya cepat. Dari bahasa jamu ke bahasa strategic management serta science yg banyak aturannya.

Teman-sahabat belajarnya bersaksi: "Pukul 08.00 malam, kami yg memimpin diskusi. Tetapi pukul 24.00, yg muda mulai ngantuk, Ibu Moor yg memimpin. Dia selalu mengingatkan tugas wajib selesai, serta tidak boleh berasal jadi."

Masalahnya, beliau pemilik perusahaan akbar, serta usianya telah lanjut. Ada stereotyping dalam koordinator sebagian orang. Sosok seperti ini jarang timbul yg mau kuliah sungguhan buat meraih ilmu. Nyatanya, kalangan berduit lebih suka meraih gelar doktor HC (honoris causa) yg jalurnya cukup ringan.

Akan akan tetapi, Mooryati tidak menentukan jalur itu. Ia ingin melatih kesehatan otaknya, merogoh risiko serta lulus 4 tahun kemudian. Hasil penelitiannya menarik perhatian Richard Daveni (Tuck School-USA), satu dari 50 pengajar taktik teratas mayapada. Belakangan, beliau juga seringkali diminta memaparkan kajian risetnya di Amerika Serikat, Belanda, serta Jerman.

Meski diuji di bawah pengajar akbar terkemuka Prof Dorodjatun Kuntjoro Jakti, kadang aku masih mendengar ucapan-ucapan miring dari orang-orang yg biasa memakai kacamata berkualitas di optik tunggal buram serta lidahnya pahit. Ada saja orang yg mengatakan beliau "diluluskan" bareng donasi, "sekolahnya hanya dua tahun", serta seterusnya. Anehnya, warta itu justru beredar di kalangan wanita yg tidak mau memahami keteladanan yg beliau tunjukkan. Kadang timbul juga yg merasa lebih memahami dari apa yg sebenarnya terjadi.

Akan akan tetapi, timbul satu hal yg sulit mereka sangkal. Perempuan yg meraih doktor pada usia 79 tahun ini berhasil mewujudkan usahanya sebagai akbar tanpa fasilitas. Perusahaannya juga go public. Padahal, yg sebagai dosennya saja belum tentu mampu melakukan hal itu, bahkan memproduksi publikasi ilmiah internasional saja nir. Namun, Bu Moor juga berhasil mengangkat reputasi jamu di pentas mayapada.

Dian Sastro

Dia juga mahasiswi aku yg keren. Sewaktu diterima di acara S-2 UI, banyak juga yg bertanya: apa sahih seniman mau bersusah payah belajar lagi di UI?

Anak-anak aku di UI memahami persis bahwa aku memang cenderung bersahabat, akan tetapi mereka juga memahami perilaku aku: "no bargain on process and quality".

KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI Model serta seniman kiprah Dian Sastrowardoyo
Dian, telah seniman, serta sedang hamil pula ketika mulai kuliah. Urusannya banyak: famili, film, serta seabrek tugas. Namun lagi-lagi, satu hal ini jarang dimiliki yg lain: self discipline. Ia tidak pernah abai menjalankan tugas.

Sebulan yg lalu, setelah lulus bareng cum laude dari MM UI, beliau berbagi pengalaman hidupnya di acara S-1 pada kelas yg aku asuh.

"Saat ayah aku meninggal mayapada, mak aku berujar: engkau bukan anak orang kaya. Ibu tidak mampu menyekolahkan apabila engkau nir outstanding," ungkapnya.

Ia pun melakukan riset terhadap putri-putri populer. Di situ beliau melihat nama-nama akbar yg tidak lahir dari kemudahan. "Saya nir elok, serta tidak punya apa-apa," ungkapnya.

Dengan uang sumbangan dari para pelayat ayahnya, beliau belajar di sebuah sekolah kepribadian. Setiap pagi, beliau juga melatih disiplin, jogging berkilo-kilometer dari Jatinegara hingga ke Cawang, ikut seni bela diri. "Mungkin kalian tidak percaya karena tidak pernah menjalaninya," ungkapnya.

Itulah mental kejuangan, yg kini disebut ekonom James Heckman sebagai kemampuan nonkognisi. Dian lulus cum laude dari S-2 UI, dari ilmu keuangan pula, yg sarat matematikanya. Padahal, bidang studi S-1 Dian amat berjauhan: filsafat.

Metakognisi Susi

Sekarang kita bahas menteri kelautan serta perikanan yg ramai diolok-olok karena "sekolahnya". Beruntung, banyak juga yg membelanya.

Khusus terhadap Susi, aku bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru seringkali aku undang memberi kuliah. Dia merupakan "self driver" sejati, yg bukan putus sekolah, melainkan berhenti secara sadar. Sampai di sini, aku ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita yg punya kesadaran serta keberanian sekuat itu?

SABRINA ASRIL/KOMPAS.com Menteri Kelautan serta Perikanan Susi Pudjiastuti
Akan akan tetapi, tidak selaras bareng kebanyakan orangtua yg membiarkan anaknya sebagai "passenger", ayah Susi justru marah akbar. Pada usia muda, di pesisir selatan yg terik, Susi  memaksa hidup berdikari. Ditemani sopir, beliau menyewa truk dari Pangandaran, membawa ikan serta udang, dilelang di Jakarta. Hal itu dijalaninya selama bertahun-tahun, seseorang diri.

Saat aku mengirim mahasiswa pergi "melihat pasar" ke luar negeri yg terdiri dari tiga orang buat satu negara, Susi membujuk aku supaya cukup satu orang satu negara. Saya menurutinya (kisah mereka mampu dibaca dalam kitab 30 Paspor di Kelas Sang Profesor).

Dari perjuangan perikanannya itu, beliau jadi mengerti penderitaan yg dialami nelayan. Ia juga belajar seluk-beluk logistik ikan, sebagai pengekspor, hingga terbentuk impian mempunyai pesawat supaya ikan tangkapan nelayan mampu diekspor dalam bentuk hidup, yg nilainya lebih tinggi. Dari ikan, jadilah bisnis carter pesawat, yg di bawahnya timbul daerah penyimpanan buat membawa ikan segar.

Dari Susi, kita mampu belajar bahwa kehidupan tidak mampu hanya dibangun dari hal-hal kognitif semata yg hanya mampu didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika serta ekamatra buat memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yg basisnya merupakan kognisi. Akan akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi, seluruh sia-sia.

Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, sebagai metakognisi: faktor pembentuk yg paling krusial di pulanglahirnya ilmuwan-ilmuwan akbar, wirausaha kelas mayapada, serta praktisi-praktisi andal. Kemampuan berkiprah, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, bekerjasama baik bareng orang lain, memahami membedakan kebenaran bareng pembenaran, mampu membuka serta mencari "pintu" merupakan fondasi krusial bagi pembaharuan, serta kehidupan yg  produktif.

Manusia itu belajar buat memproduksi diri serta bangsanya andal, bijak mengatasi kasus, mampu merogoh keputusan, mampu memproduksi kehidupan lebih produktif serta penuh kedamaian. Kalau cuma mampu memproduksi keonaran serta adu pintar saja, kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, akan tetapi belum mampu menguji kebenaran bareng bijak serta mengembangkannya ke dalam tindakan yg produktif.

Ketiga orang itu mungkin tidak sehebat Anda yg suka melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yg bermuara pada nomor, teori, ijazah, serta stereotyping. Akan akan tetapi, aku wajib mengatakan, studi-studi modern menemukan, ketidakmampuan meredam rasa nir suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan rekaan serta rasa sahih sendiri, hanya akan memproduksi kesombongan diri.

Anak-anak kita pada akhirnya belajar dari kita, serta apa yg kita ucapkan dalam kesaharian kita juga akan membangun mereka, serta masa depan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top