Minggu, 11 Februari 2018

Teknologi Home Video berasal Masa ke Masa

Teknologi Home Video menurut Masa ke Masa

Perkembangan teknologi kepada aneka macam bidang kini semakin mencengangkan, bukan saja menurut semakin canggihnya teknologi tadi, akan tetapi juga mengenai begitu cepatnya proses pergantian suatu teknologi tinggi ke teknologi lebih tinggi lagi. Apa yang dahulu hanya fiksi, yang hanya ada kepada film-film science fiction, kini menjadi fenomena sehari-hari.

Salah satu teknologi yang mengalami proses tadi ialah teknologi home video (video rumahan).

Proyektor menggunakan Rol Film 8 mm

Sekitar 1950-an sampai menggunakan 1970-an format film home video berbentuk republika online film seluloid 8 mm, menggunakan durasi kurang lebih 50 menit setiap rilnya. Ada juga yang 16 mm, akan tetapi, yang paling awam kepada Indonesia ialah yang 8 mm.

Cara memutar filmnya menggunakan memakai proyektor. Bentuk proyektor bukan seperti contoh proyektor kini, akan tetapi seperti gambar kepada bawah ini:

Cara memutarnya, republika online yang berisi pita film dipasang kepada bagian depan, ujung pita filmnya dimasukkan ke slot yang tersedia, kemudian putar sebuah knob ke arah depan. Proyektor akan menjalankan pita film itu ke belakang, digulung ke republika online kosong kepada bagian belakangnya. Ketika pita film berjalan itulah film dimulai.

Saat pemutaran film, ruangan wajib gelap, dan lampu film yang menayangkan film diarahkan ke tembok putih, atau ke kain putih yang dibentangkan.

Awalnya filmnya hitam-putih dan bisu, kemudian berkembang menjadi film berwarna dan bersuara mono, kemudian stereo.

Pada masa-masa itu juga film-film yang paling digemari antara lain film-film lawak bisu dan hitam-putih Charlie Chaplin, kemudian ada Abbot and Castello yang sudah berwarna dan bersuara mono, dan film-film  aksi seperti film-film cowboy-nya John Wayne, Samson and Delilah, The Ten Commanments, Ben-Hur, Jason and the Argonauts, dan lain-lain.

Sebagai perbandingan, lihat contoh proyektor home theater masa kini, kepada bawah ini:

Kaset Video Betamax dan VHS

Sekitar 1975 adalah awal menurut perubahan teknologi video rumah, ketika Sony meriliskan temuan terbarunya buat menggantikan fungsi republika online film seluloid 8 mm, yaitu video kaset Betamax.  Berbentuk kotak 156 96 25 mm menggunakan pita video kepada dalamnya, kepada-encoding: PAL, NTSC, dan SECAM. Di Indonesia umumnya yang dipergunakan yang PAL.

Resolusi gambar videonya 350 x 311 pixel. Kemudian dikembangkan menggunakan Super Betamax menggunakan resolusi 420 x 400 pixel. Durasi per kaset mulai menurut 30 menit (L-250), 2 jam 10 menit (L-500), dan 3 jam 10 menit (L-750).

Diputar menggunakan memakai VHS/Betamax player, gambar videonya ditayangkan lewat televisi (lihat: Perkembangan Teknologi TV).

Bersamaan menggunakan Betamax ada juga video kaset menggunakan format yang lebih besar, dikembangkan oleh JVC menggunakan nama VHS(Video Home System), menggunakan kwalitas gambar dan bunyi lebih sedikit kepada atas Betamax.

Karena ukuran fisik yang tidak sinkron, maka player video kaset Betamax dan VHS nir sanggup saling pakai.

Betamax kepada umumnya dipakai kepada Asia, sedangkan VHS kepada umumnya dipakai kepada Amerika dan Eropa.

Laser Disc (LD)

Era video kaset home video baik dalam format Betamax, maupun VHS  mulai berakhir kepada 1990-an, ketika Philips bareng menggunakan Pioneer Corp. mulai merilis temuan terbaru mereka yang dinamakan Laser Disc (LD) yang sanggup menayangkan gambar dan bunyi yang jauh lebih bagus, sehingga mendekati kwalitas film kepada bioskop ketika itu.

Tipe media yang dipergunakan LD ialah Optical Disc, menggunakan encoding: NTSC dan PAL. Kapasitas gambar dan bunyi: 60 menit kepada masing-masing sideA dan B buat tipe CLV discs, dan 30 menit per side buat tipe CAV disc Ukuran cakram: diameter 11,81 inchi (30 centimeter) sama menggunakan dimensi piringan hitam besar.

Resolusi gambar LD ialah 560 x 480 pixel, lebih baik daripada Betamax dan VHS. Namun, LD nir diminati kepada Amerika dan Eropa, dikarenakan nir efesien menggunakan ukurannya yang besar, risiko rusak: tergores atau patah cukup besar.

Di masa itu, kepada Indonesia, dijual pula mesin teks bahasa Indonesia buat setiap LD film. Mesin penterjemah dan pembuat teks bahasa Indonesia itu mereknya Kimura.

Untuk menerima teks bahasa Indonesia ada catridge-nya yang berbentuk kotak mungil putih yang dimasukkan ke slot Kimura. Kimura dihubungkan menggunakan player LD. Tidak semua LD film ada catridge teks bahasa Indonesia-nya.

DVD

Karena ketidakpraktisannya, LD nir bertahan usang. Sekitar tahun 1995 ialah masa dimulainya peralihan teknologi home video berformat LD ke DVD yang dikembangkan oleh konsorsium Philips, Sony, Toshiba, dan Panasonic.

Pada awalnya DVD singkatan menurut Digital Video Disc, namun lantaran ternyata dalam perkembangannya cakram DVD nir hanya sanggup menyimpan video, akan tetapi juga data lainnya seperti foto, gambar, audio, dan dokumen, maka kepanjangannya diubah menjadi Digital Versatile Disc, atau cakram digital serba guna.

Format DVD jauh lebih mungil daripada LD, seukuran menggunakan CD, yaitu hanya berdiameter 4,7 inchi (12 centimeter), bandingkan menggunakan LD yang 11,8 inchi (30 centimeter).

Resolusi video DVD ialah 720 x 540 pixel.Tipe media: optical disc, menggunakan kapasitas 4,7 GB per side buat single layer (kepada umumnya),  8,lima GB per side buat double layer.

Salah satu kelebihan DVD ialah ialah adanya hidangan Search dan Chapters kepada video (film)nya, yang membangun kita menggunakan gampang mencari adegan-adegan tertentu kepada dalam suatu film: menit ke berapa, atau ada kepada chapter (bab) ke berapa, tinggal dipilih dan dikontrol dan remote control.

Selain menggunakan DVD player, cakram DVD juga diputar kepada laptop.

Untuk membatasi aktifitas pembajakan, DVD home video dibagi atas 6 region, yaitu:

Region 1: Amerika Serikat dan Kanada, Bermuda, dan tempat teritorial AS,

Region 2: Eropa (kecuali Rusia, Ukraina, dan Belarus), Jepang, Afrika Selatan, Timur Tengah, Mesir, Leshoto, dan Greenland,

Region 3: Asia Tenggara,

Region 4: Amerika Latin dan Australia,

Region lima: Rusia, Asia (non-Asia Tenggara), dan Afrika,

Region 6: Tiongkok.

Namun pembagian region ini ternyata nir efektif, terutama kepada Asia, lantaran pembuat-pembuat DVD playerpada umumnya membangun DVD player mereka yang sanggup memutar beberapa region (multi region), atau sanggup dibuka kunci region-nya.

Dengan aneka macam keunggulannya DVD sanggup bertahan usang, bahkan sampai kini, meskipun sudah hadir pula teknogi video rumah terbaru yang jauh mengungguli DVD, yaitu Blu-ray. DVD sanggup bertahan lantaran harganya yang jauh lebih murah dibandingkan menggunakan Blu-ray, perbandingan harganya kurang lebih 1:3.

VCD

Tak usang sehabis mayapada mengenal DVD, timbul juga teknologi serupa menggunakan kwalitas setingkat kepada bawahnya, yaitu VCD (Video Compact Disc), menggunakan harga yang jauh lebih murah daripada DVD (lebih menurut separohnya).

VCD dikembangkan kepada era 1990-an juga oleh konsorsium  Sony, Philips, Matsushita, dan JVC, menggunakan spesifikasi menjadi berikut: tipe media yang dipergunakan optical disc, encoding: MPEG-1 video + audio, kapasitas 800 MB ke atas, 45 menit per side. Di atas VCD ada SVCD, atau Super VCD, akan tetapi nir terkenal.

Dengan kapasitas yang terbatas itu, rata-rata satu film VCD terdiri menurut 2-3 cakram. Sedangkan resolusi gambar kepada VCD hanya 352 x 288, membangun kwalitas gambar videonya terlihat patah-patah. Suaranya pun hanya sanggup stereo biasa.

Pada VCD juga nir ada hidangan Search dan Chapter seperti kepada DVD, sehingga sulit buat mencari adegan-adegan tertentu kepada film VCD.

Karena kwalitasnya yang kepada bawah DVD, VCD nir diminati kepada tempat kepada luar Asia dan Afrika. Di Amerika dan Eropa kepada umumnya nir mengenal VCD.

Di masanya, kepada Indonesia VCD tersebar bersamaaan menggunakan DVD, baik kepada toko penjualan, maupun kepada rental-rental, menggunakan pendaftar VCD mencapai kurang lebih 95 persen lantaran (lantaran murah), dibandingkan menggunakan DVD.

Blu-ray Disc (BD)

Keterbatasan DVD dalam menyimpan data video dan bunyi sehingga masih masih ada banyak kekurangannya ialah lantaran DVD memakai teknologi gelombang laser-merah yang panjang gelombangnya 650 nano meter. Keterbatasan ini diatasi menggunakan ditemukan teknologi baru kepada bidang cakram video, yang memakai teknologi gelombang laser-biru menggunakan panjang gelombang hanya 405 nano meter.

Bentuk dan ukuran cakramnya secara kasat mata sama persis menggunakan DVD, dan CD, akan tetapi kandungan teknologi yang ada kepada BD sangat jauh kepada atas DVD. Teknologi baru itu dinamakan menurut rona teknologi laser-biru yang dipergunakan, yaitu Blu-ray Disc (BD).

Aika resolusi video tertinggi DVD hanya mencapai 720 x 540 pixel, menggunakan kapasitas data kepada umumnya hanya 4,7 GB (single layer), tertinggi 8,lima GB (double layer), maka resolusi video BD ialah 1.920 x 1.080 pixel, menggunakan kapasitas data 25 GB buat single layer, dan 50 GB, menggunakan kwalitas video high definition (HD).

Teknologi modern BD ialah pencapaian kwalitas gambar yang sudah kepada atas HD, dan dinamakan Ultra HD 4K, menggunakan resolusi gambar minimal 3.840 x 2.160 pixel, kapasitas mulai menurut 50 GB sampai 100 GB. Mampu menyimpan video Ultra HD sampai berdurasi 9 jam, dan seandainya video menggunakan kwalitas baku (DVD) kepada simpan kepada BD Ultra HD, maka ia sanggup menampung video menggunakan durasi 23 jam.

Nama Ultra HD 4K mengacu kepada mengacu kepada resolusi horisontalnya, yaitu: minimal 3840, dibulatkan 4.000 pixel (K =kilo = 1000. Jadi 4K = 4000).

Teknologi BD ini masih terus dikembangkan menggunakan aneka macam variannya, kepada antaranya ialah buat video rumah selalu dirancang mengikuti teknologi bioskop kelas atas, yaitu menggunakan tersebar pula film BD menggunakan teknologi 3 Dimensi (3D).

Untuk sanggup menonton BD 3D, maupun Ultra HD, diharapkan perangkat video yang juga mendukung kedua teknologi tadi, yaitu wajib menggunakan BD player 3D, dan Smart TV 3D, demikian juga menggunakan buat sanggup menikmati film BD berformat Ultra HD (4K).

Aika memakai perangkat receiver dan proyektor home theater, maka buat receiver dan proyektor-nya juga wajib sudah dilengkapi menggunakan teknologi Ultra HD, sedangkan buat BD 3D, proyektornya juga wajib berteknologi 3D. Tentu saja buat 3D wajib juga memakai kacamata berkualitas di optik tunggal khusus 3D, yang umumnya diberi 2 butir menjadi diskon, seandainya kita membeli Smart TV 3D, atau proyektor 3D.

Seperti juga DVD, BD film  juga dibagi atas tiga tempat, akan tetapi seperti juga DVD, pembagian tempat ini juga nir efektif, lantaran kunci kode wilayah kepada BD player umumnya sanggup dibuka, sehingga sanggup dipakai buat memutar BD fil menurut beberapa wilayah.

A / 1: Amerika, dan dependensi mereka, Asia Timur (kecuali Cina dan Mongolia), dan Asia Tenggara.

B / 2: Afrika, Asia Barat, Eropa (kecuali Belarusia, Rusia dan Ukraina), Australia, Selandia Baru, dan dependensi mereka.

C / 3: Asia Tengah, Asia Timur (Cina dan Mongolia saja), Asia Selatan, Eropa Timur, dan dependensi mereka.

Selain menurut aspek kwalitas video-nya, BD juga mengembangkan teknologi suaranya, sehingga sound-effect video rumah pun semakin canggih. Aika kepada bioskop kelas atas juga ada yang dilengkapi menggunakan sound system Dolby Atmos, demikian juga teknologi video rumah menggunakan format BD terbaru.

Dolby Atmos adalah teknologi virtual reality bunyi yang memaksimalkan penggunaan audio dalam penceritaan sebuah film. Teknologi ini juga menyampaikan kebebasan kepada para filmmaker buat menempatkan atau memindahkan bunyi ke sudut mana pun kepada dalam gedung bioskop buat menciptakan suasana seperti kepada kehidupan nyata (21cineplex.com).

Sound systembioskop menggunakan Dolby Atmos yang baru dipergunakan kepada bioskop-bioskp terkemuka mayapada kepada April 2012 (kepada Indonesia baru ada kepada bioskop-bioskop tertentu milik Grup XXI sejak November 2013),  menciptakan efek bunyi yang lebih nyata, membawa efek seolah-olah kita berada kepada tempat peristiwa kepada film yang sedang kita tonton, itu dikarenakan teknologi surround-nya yang sungguh mengelilingi seluruh ruangan, bukan hanya kepada lantai tempat duduk penonton, akan tetapi menurut atas ke bawah.

Hanya saja buat bia menikmati Dolby Atmos kepada rumah, cara terbaiknya ialah kita wajib menontonnya kepada ruang khusus home theater yang dilengkapi menggunakan perangkap home thetare kelas atas (hi-end), yang buat perangkat home theater-nya saja  bernilai ratusan juta sampai miliaran rupiah.

Perangkat home theater hi-end mencakup minimal: 1 unit Blu-ray player (minimal sudah Ultra HD/3D), 1 unit receiver, 1 unit proyektor atau televisi Ultra HD minimal 60,  home theater 1 set speaker (terdiri menurut: sepasang speaker primer, 1 butir center speaker, 1 butir sub-woofer, sepasang surround speaker samping kiri dan kanan, sepasang surround speaker kiri-kanan belakang).

Aika menghendaki sound system Dolby Atmos, maka perangkat-perangkat tersebu kepada atas haruslah sudah didukung oleh teknologi bunyi Dolby Atmos tadi, tentu saja menggunakan konsekuensi harga yang lebih mahal lagi.  

Teknologi Blu-ray pertama kali dikembangkan oleh Sony Corporation, dan diperkenalkan pertama kali dalam bentuk protipe DVR Blue kepada tahun 2.000 kepada CEATEC (Combined Exhibition of Advanced Technologies), kepada Tokyo, Jepang. Merek dagang Blu-ray pertama kali dipatenkan kepada 9 Februari 2001, dan kepada 19 Februari 2002, proyek ini secara resmi diumumkan menjadi Blu-ray Project.

Selain Sony dan Pioneer, ada tujuh perusahaan elektro raksasa lainnya yang bergabung dalam proyek tadi, yaitu Panasonic, Philips , Thomson , LG Electronics , Hitachi , Sharp , dan Samsung Electronics

Pada 20 Mei 2002, bareng menggunakan Massachusetts Institute of Technology (MIT), kesembilan pembuat ini membangun suatu konsorsium yang dinamakan Blu-ray Disc Founders (BDF), dan agar lebih banyak perusahaan eletronika dan industri film bergabung,  kepada 4 Oktober 2004 BDF berganti nama menjadi  Blu-ray Disc Association (BDA).

BDA ialah konsorsium industri yang mengembangkan dan lisensi teknologi Blu-ray Disc dan bertanggung jawab buat tetapkan baku format dan mempromosikan peluang bisnis buat Blu-ray Disc .

Pada 2006-2008, teknologi BD ini sempat bersaing menggunakan grup pembuat berteknologi tinggi setara lainnya yang dipimpin oleh Toshiba dan NEC, yang dinamakan HD DVD, yang didukung oleh studio film besar Hollywood, Warner Bros Group  (New Line Cinema, dan HBO).

Dua format berteknologi tinggi ini memiliki format pengkodean yang tidak sinkron, sehingga nir kompatibel satu menggunakan yang lain, maka masih ada BD player yang dipimpin Sony bersaing menggunakan HD DVD player yang dipimpin oleh Toshiba.

Hal ini membangun studio-studio film Hollywood terpaksa merilis filmnya dalam 2 format itu, akan tetapi yang terbanyak ialah yang mendukung format Blu-ray.

Persaingan itu juga mengingatkan orang terhadap persaingan antara kaset video berformat Betamaxversus VHS, sebagaimana sudah diuraikan kepada atas.

Namun, nir seperti persaingan ketat antara Betamax versus VHS, yang memakan waktu sampai hampir sepuluh tahun, menggunakan masing-masing menguasai wilayahnya (Betamax kepada Asia, VHS kepada AS dan Eropa), persaingan antara format Blu-ray menggunakan HD DVD hanya memakan waktu kurang lebih 2 tahun.

Studio-studio film Hollywood satu per satu memutuskan nir lagi memproduksi film-filmnya dalam format cakram HD DVD, dan hanya memproduksi format cakram Blu-ray.

Toko-toko retail besar DVD kepada AS pun, seperti Best Buy , Walmart , dan Circuit City, dan  kepada Kanada, seperti Future Shop pun menghentikan penjualan HD DVD, maka kematian HD DVD pun hanya menunggu waktu.

Pada 19 Februari 2008 Toshiba mengumumkan akan mengakhiri produksi dan pengembangan HD DVD sehingga secara pribadi menyudahi perang format tadi.

Bisnis VCD/DVD yang Sempat Berkembang Pesat

Sebelum tiba teknologi-teknologi canggih yang berkaitan menggunakan home video dalam format dan teknologi lebih canggih lainnya, bisnis penjualan dan persewaan (rental) DVD sempat memperoleh masa kejayaannya selama lebih menurut satu dasa warsa.

Saat itu nama Disc Tarra menjadi toko musik dan DVD terbesar kepada Indonesia sangat dikenal, ia selalu ada kepada semua mall besar kepada seluruh Indonesia, dan selalu ramai pembelinya.

Demikian juga menggunakan bisnis franchise (waralaba) persewaan VCD dan DVD, seperti jaringan persewaan VCD/DVD Odiva (grup Disc Tarra) dan Video-Ezy (menurut Australia), tersebar kepada seantero Nusantara, selain rental-rental perorangan lainnya.

Di Amerika Serikat, terkenal menggunakan jaringan toko rental-nya terbesarnya yang bernama Blockbuster dan Red Box.

Namun seiring berjalannya waktu, mulai tumbuh pesat pula bisnis DVD bajakan kepada Indonesia. Kebanyakan konsumen Indonesia yang nir memperdulikan kwalitas, yang krusial sanggup nonton filmnya, lebih mengarah DVD bajakan yang harganya rata-rata hanya Rp lima.000 per film, dibandingkan DVD original yang rata-rata kepada atas Rp. 100.000 per film, dan sewa DVD original yang Rp Rp. 8.000 Rp. 10.000, atau sewa VCD yang Rp. 4.000-Rp. lima.000 per film, denganbatas waktu pengembalian tertentu, yang seandainya dilalui akan dikenakan denda.

Beli DVD bajakan menggunakan harga segitu, habis nonton dibuang juga nir kasus, dibandingkan sewa menggunakan ongkos sewa yang sama, akan tetapi wajib dikembalikan sempurna waktu, atau kena denda. Apalagi kwalitas DVD bajakan pun terus berkembang sehingga nyaris sama menggunakan DVD original.

Maka perlahan namun pasti DVD dan VCD original kepada Disc Tarra pun semakin nir laku. Disc Tarra semakin terpukul ketika teknologi dan kecepatan internet semakin maju menggunakan setiap orang sanggup mengunduh musik menurut internet dan menyimpannya kepada USB, flash-disc atau media lainnya. Disc Tarra yang sangat mengandalkan penjualan CD musik pun semakin terpuruk, sampai akhirnya terpaksa menutup tokonya kepada seluruh Indonesia. Bangkrut!

Di Amerika pun  jaringan persewan DVD Blockbuster yang sangat terkenal kepada sana, pun terpaksa lempar handuk putih,  menutup seluruh tokonya, lantaran gempuran teknologi internet (video streaming), apalagi ketika bermunculan bisnis persewaan film jenis baru berteknologi internet kecepatan tinggi (broadband), yang dipelopori oleh Netflix.

Dengan Netflix, setiap orang yang berlangganan, sanggup menikmati tayangan film kesukaannya kepada mana pun menggunakan segala macam gawai berteknologi internet, menurut Smart TV, ponsel pintar, laptop, maupun PC.

Kematian CD, VCD dan DVD Original

Di Indonesia, sama menggunakan DVD, bisnis VCD pun wajib menghadapi terjangan hebat menurut DVD bajakan. Perlahan namun pasti VCD, maupun apalagi DVD original pun semakin terdesak, dan akhirnya mangkat.

Demikian juga CD musik, yang menjadi andalan toko-toko musik besar, seperti Disc Tarra, dan Aquarius, sesudah ngos-ngosandihantam CD musik bajakan, kemudian dihabisi oleh teknologi unduhan dan menginstal musik lewat internet.

Yang memprihatinkan pemerintah pun terkesan nir memperdulikan nasib menurut pebisnis VCD/DVD/CD musik original yang nota benelegal dan membayar pajak kepada negara, menggunakan membiarkan bisnis DVD bajakan yang ilegal dan tak membayar pajak ke negara terus berkembang dan membesar sampai merambah ke mall-mall.

Ironisnya dalam satu mal yang sama sanggup masih ada toko Disc Tarra yang menjual produk legal dan original menggunakan belasan toko mungil yang menjual produk bajakan dan ilegal, dan akhirnya yang mangkat justru yang legal dan original.

Undang-Undang Hak Cipta pun taklebih menurut macan ompong dan produk hukum pajangan saja.

Aika ada tindakan terhadap DVD bajakan menurut yang berwenang itu tak lebih daripada formalitas belaka, yang dilakukan secara sporadis dan nir berfokus. Bahkan berhembus isu yang mengatakan kepada setiap daerah ada saja aparat yang membeking bisnis DVD bajakan tadi.

Tak heran menerima gempuran menurut produk bajakan, nir adanya konservasi hukum menurut pemerintah, bisnis VCD dan DVD original, juga CD musik kepada Indonesia pun semakin usang semakin sekarat, antara hidup dan mangkat.

Keadaan menjadi semakin tak tertolong lagi ketika teknologi video streaming internet semakin maju merambah sampai ke teknologi home video, musik, dan film-film bajakan pun sanggup diunduh kemudian diinstal kepada mana saja menggunakan memakai teknologi internet itu, disimpan kepada USB.

Maka hari kematian pun akhirnya tiba bagi pebisnis DVD, VCD, CD musik bahkan Blu-ray kepada beberapa negara kepada Asia, termasuk kepada Indonesia. Blu-ray yang belum berkembang kepada Indonesia pun ikut menemui ajalnya, menjadi barang langka.

Toko Disc Tarra kepada Desember 2015 menutup seluruh tokonya kepada Indonesia, demikian juga menggunakan toko musik dan DVD/Blu-ray/CD terbesar kepada Singapura: HMV, juga bernasib serupa. Pada Sepetember 2015 HMV sudah lebih dahulu menutup toko terakhirnya kepada Marina Square Mall, Singapura.

Sementara itu bisnis DVD bajakan, kemudian Blu-ray bajakan justru semakin subur dan membesar.

Namun waktu terus berjalan, kini ini, dan ke depannya lagi, bisnis ilegal ini pun sepertinya nir lagi seceriah sebelumnya. Malaikat mautnya sama, teknologi streaming video internet, baik yang legal (berupa perusahaan-perusahan raksasa), maupun yang ilegal kepada internet.

Di era serba teknologi internet yang semakin maju ini, kehadiran Netflix, Iflix, Hooq, dan beberapa merek sejenis lainnya, ditambah menggunakan teknologi TV Kabel yang juga semakin maju,  dan semakin murah, maka era Blu-ray pun mungkin akan mengalami nasib seperti para pendahulunya. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top