Untuk memproduksi sebuah produk/barang siap jual, bermacam-macam komponen biaya yg harus ditanggung pelaku bisnis/industri (foto : doc. pribadi)
Tahun 2012 hanya tersisa 5 hari lagi. Artinya selesainya 5 hari ke depan kita telah memasuki tahun 2013 yg berarti mulai diberlakukannya upah minimum baru bagi para pekerja yg bekerja dalam sektor formal. Lalu sejauh mana kesiapan para pengusaha /pemilik industri buat menjalankan anggaran baru tersebut? Ternyata, tak semua pengusaha sanggup menjalankannya & berupaya mengajukan penangguhan. Kalaupun sebagian menyanggupi, akan tetapi beserta sejumlah prasyarat & batasan, termasuk diantaranya membatasi rekrutmen pekerja buat level pendidikan tertentu bahkan diikuti beserta rasionalisasi/ pengurangan pekerja besar-besaran.
Sepanjang sejarah UMK, memang baru kali inilah UMK naik secara fantastis hingga 4 - 5 kali lipat asal tingkat inflasi. UMK DKI Jakarta yg pertama kali ditetapkan & kemudian memicu tuntutan dalam berbagai daerah agar UMK disetarakan beserta DKI. Untuk DKI, kenaikan UMK mencapai 44%. Di kota daerah aku bekerja, Cilegon, yg Walikotanya menetapkan UMK sama besar beserta DKI, kenaikannya mencapai 49%, nyaris 50%. Ternyata itu belum seberapa, alasannya adalah dalam Bogor UMK naik hingga 70% alasannya adalah menyamakan beserta Jakarta. Semua kenaikan itu baru sebatas kenaikan UPAH POKOK (basic salary) saja. Artinya, ada komponen upah lain yg sudah niscaya ikut naik alasannya adalah perhitungannya didasarkan dalam upah pokok.
Selain upah pokok sebanyak UMK, umumnya pekerja mendapatkan tunjangan makan & transport yg dihitung sinkron jumlah hari kerja (kehadiran bekerja) dalam satu bulan. Selain itu, buat pekerja yg bekerja dalam sistem shift (pergiliran kerja), maka ada uang shift yg dihitung sinkron jumlah hari shift petang & shift malam. Disamping itu, andai saja mereka bekerja lembur, maka ada upah lembur yg besarnya dihitung beserta indeks lembur dikalikan jumlah jam lembur efektif, dimana dalam 1 jam pertama dikalikan 1,5 kali indeks & jam ke-2 hingga ke-8 dikalikan 2 kali indeks, sedang jam ke-9 hingga ke-11 dikalikan 3 kali indeks. Sebagai paparan, seorang pekerja yg bekerja lembur 1 hari atau riilnya 8 jam, maka konversinya dihitung menjadi 15,5 jam. Lalu dikalikan indeks upah lembur yg besarnya1/173 asal UMK. Sekedar model, buat kota Cilegon yg saat ini UMKnya Rp. 1.481.000,00 maka upah lembur sehari mampu mencapai Rp. 132.700,00. Bika dalam 2012 nanti UMK menjadi Rp. 2.200.000,00 makalembur sehari saja upahnya Rp. 197.110,00. Itu baru lembur dalam hari biasa. Bika lembur dilakukan dalam hari libur, lebih besar lagi nominalnya.
Komponen upah yg diterimakan pribadi kepada pekerja maupun yg diterimakan dalam bentuk benefit atau yg dicadangkan buat diterimakan tahunan atau dalam akhir masa kerja, bukan hanya UMK saja. (foto : doc. pribadi)
Selain komponen upah yg diterimakan tiap bulan kepada pekerja (UMK, uang makan, transport, shift, lembur), sinkron UU pengusaha diwajibkan mengasuransikan pekerja dalam acara Jamsostek, minimal buat acara Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) & Jaminan Kematian (JK). Secara awam, perusahaan yg tidak mempunyai acara asuransi kesehatan acara purna tugas sendiri, maka total premi Jamsostek yg harus dibayarkan artinya sebanyak 10,89% asal UMK.
Selain Jamsostek, pengusaha jua diwajibkan membayarkan THR atau tunjangan hari raya keagamaan minimal satu kali UMK. Artinya, setiap bulan pengusaha mencadangkan 1/12 x UMK. Selain itu, buat pesangon paska kerja, umumnya jua disisihkan satu kali gaji atau 1/12 x UMKsetiap bulan. Maka, andai saja kenaikan UMK mencapai 49% mirip dalam kota kami, total konsekwensi yg harus ditanggung pengusaha lebih asal itu. Sekedar citra nilai rupiahnya, tahun 2013 dalam kota kami UMK naik sebanyak Rp. 719.000,00/bulan. Bika dihitung semua kewajiban pengusaha terhadap pekerja, maka kenaikannya mampu mencapai Rp. 1,1 jutaan. Itu belum termasuk uang shift & uang lembur lho! Juga beserta anggapan uang makan & transport tidak ada kenaikan sama sekali.
Itu sudah semuanya? Belum! Bagi perusahaan yg mewajibkan pekerjanya memakai seragam kerja, mereka jua wajib menyediakan pakaian seragam kerja umumnya 2 stel per tahun. Lalu buat pekerjaan yg memerlukan indera pelengkap konservasi diri, pengusaha jua wajib menyediakan APD (aman equipment) mirip helm, sepatu aman, earplug, masker, sarung tangan, kacamata berkualitas di optik tunggal las, dll., yg total nilainya mampu mencapai lebih asal 1 juta dalam setahun.
Katakanlah kita hanya menghitung kenaikan UMK + premi Jamsostek + penyisihan THR + paska kerja yg aku sebut dalam atas, dimana nilainya Rp. 1,1 juta/orang/bulan, maka andai saja suatu industri mempekerjakan 1000 orang, perusahaan itu harus menyediakan dana tambahan buat upah saja Rp. 1,1 miliar/bulan. Kalau ada 10.000 pekerja, maka tambahannya Rp. 11 miliar/bulan. Bisa dibayangkan beban yg harus ditanggung pemilik industri. Semua paparan dalam atas baru model buat kota yg mengalami kenaikan UMK 49%. Bagaimana jua andai saja kenaikannya 70%?!
Karena itu, pantas saja andai saja sejumlah perusahaan menjerit & pribadi menyatakan tak mampu membayar. Di kota kami, sebuah perusahaan yg mempunyai pekerja 80.000 orang, pribadi angkat tangan. Dengan perhitungan mirip dalam atas, konsekwensi yg harus mereka sediakan mencapai Rp. 88 M/bulan! Belum lagi uang shift & lembur. Dengan cara apa akan menutup kebutuhan dana sebanyak itu dalam sebulan?! Menaikkan harga jual?! Kira-kira, masih logiskah kenaikan harga produknya andai saja didongkrak sedemikian tingginya? Apakah nanti produknya akan mampu bertahan dalam pasaran? Apa konsumen mau membeli produk yg harganya naik gila-gilaan? Pada industri padat karya, kenaikan upah tenaga kerja saja sudah menyentuh COGS (cost of goods sold). Ambil saja model pabrik rokok yg pekerjanya puluhan ribu. Akan dijual berapa rokok nanti?
Bika upah tenaga kerja sudah menyentuh titik harga jual produk, apakah bukannya alarm menanti kebangkrutan mayapada bisnis? Kenaikan harga yg melonjak akan melumpuhkan daya beli meski upah dinaikkan (foto : doc. pribadi)
Bika pengusaha menentukan opsi kenaikan harga jual produk, maka bukan tak mungkin barang-barang protesis China & Korea yg dikenal murah akan makin membanjiri pasar Indonesia & produk dalam negeri akan makin kalah bersaing bahkan mati kutu dalam negeri sendiri. Tapi langkah apa lagi yg mampu dilakukan andai saja biaya tenaga kerja saja meningkat antara 44 - 70%? Padahal, dalam suatu industri yg memproduksi & menjual produk, biaya yg dikeluarkan bukan hanya biaya tenaga kerja (labor cost) saja. Ada biaya bahan standar & bahan penunjang, ongkos produksi, biaya over head (listrik, air, telepon, perawatan gedung & instalasi pabrik, administrasi, dll.), jua biaya pemasaran & penjualan, ongkos iklan, biaya penyimpanan (pergudangan) & biaya distribusi.
Maka sudah mampu dipastikan kenaikan UMK akan memicu kenaikan harga jual barang. Kenaikan harga produk industri tak akan sendiri, efek dominonya akan berimbas dalam kenaikan harga barang & jasa lain, termasuk harga bahan pangan. Kalau terjadi kenaikan harga, maka yg terkena dampaknya bukan hanya mereka yg bekerja dalam sektor formal saja, akan tetapi semua warga. Kalau sudah begini, apakah akan ada artinya kenaikan upah yg sebegitu tingginya? Bagi mereka yg bekerja dalam sektor formal yg upahnya naik, mungkin akan impas saja jadinya. Lalu bagaimana beserta mereka yg bekerja mampu berdiri diatas kaki sendiri/wirausaha mini-kecilan? Yang jadi tukang becak, pengojek, pemulung, jual pulsa pinggir jalan, tukang batu, pekerja serabutan, yg tidak tercover sang UMK? Bukankah mereka makin megap-megap saja mengejar kenaikan harga kebutuhan hidup ad interim penghasilannya tidak naik.
Pekerja dalam sektor formal pun belum tentu mampu hening menikmati kenaikan ini. Sebab beberapa perusahaan sudah ancang-ancang melakukan penghematan beserta cara rasionalisasi pekerja alias pengurangan. Mereka akan memangkas jumlah pekerjanya terutama mereka yg dievaluasi kurang produktif (acapkali sakit, sulit dalam-upgrade ketrampilannya, dll.) dan yg tingkat pendidikan dalam bawah SMA/sederajat. Di Indonesia, jumlah pekerja tamatan SD & SMP masih banyak, alasannya adalah angka putus sekolah masih tinggi. Perusahaan retail mirip jaringan Alfamart & sejenisnya, bahkan sudah ancang-ancang buat tidak lagi mendapat pekerja lulusan SMA & hanya akan merekrut lulusan sarjana saja. Kenapa begitu?
Selama ini, beserta UMK yg sekarang saja pekerja lulusan SMA take home pay-nya mampu mencapai 2 jutaan lebih per bulan. Bika nanti UMK menjadi Rp. 2,2 juta/bulan, maka penghasilannya mampu jadi hampir Rp. 3 jutaan sebulan. Ini sudah menyamai gaji sarjana. Melubernya jumlah sarjana asal banyak perguruan tinggi partikelir, membentuk lulusan S1 tak lagi punya posisi tawar tinggi. Jangan galat, saat ini banyak sarjana fresh graduate yg terpaksa mau digaji Rp. 2 - 2,5 juta per bulan asal dalam tak mampu kerja. Kalau UMK naik, maka gaji sarjana akan "tersundul" upah buruh yg sebagian cuma lulusan SMP & SMA/sederajat. Maka, agenda sejumlah perusahaan buat tak lagi mempekerjakan lulusan SMA & lebih menentukan merekrut sarjana kalau harus membayar gaji sama, merupakan ancaman baru bagi kelangsungan peluang kerja lulusan SMA. Dan itu tak mampu dipercaya sepele, alasannya adalah pekerja lulusan SMP & SMA jumlahnya jutaan dalam Indonesia.
Sebuah komentar testimonial dalam forum diskusi dalam detik.com (screen shoot made by Ira)
Sebuah BUMN mengeluhkan, andai saja UMK naik, maka upah pekerja outsourcing dalam perusahaan mereka akan jauh mengalahkan pekerja permanen yg statusnya artinya karyawan pribadi BUMN itu. Ironis sekali, sebabkenaikan upah karyawan yg sudah berstatus pegawai permanen itu hanya 5% sedang upah buruh naiknya malah 50% alias 10x lipat! Kecemburuan sosial akan makin tinggi, alasannya adalah "tuan tempat tinggal" upahnya kalah beserta buruh.
Maka, inilah bumerang yg balik melesat ke arah pelemparnya : PHK/ pengurangan pekerja, lebih dahsyat lagi ancaman menutup bisnis bagi perusahaan padat karya yg pekerjanya puluhan ribu orang, pembatasan peluang kerja bagi lulusan SMA, kenaikan harga barang & jasa, pengangguran dalam mana-mana, pekerja sektor informal & pengangguran makin miskin alasannya adalah tak mampu mengejar kenaikan harga kebutuhan. Sudahkah Pemerintah - dalam hal ini Menaker & para ketua daerah - berpikir jauh & menimbang berbagai aspek akibat asal kebijakan ini?
Bagaimana beserta pekerja sektor informal yg upahnya tak diatur beserta UMK? Bukankah ke depan hidup akan makin berat bagi mereka? (foto : doc. pribadi)
Sebab dalam beberapa daerah, penetapan UMK cenderung bersifat politis alasannya adalah kebijakan populis asal Walikota/Bupati/Gubernur. Semisal dalam Cilegon, semual KHL tahun 2013 ditetapkan Rp. 1.579.315,00 menjadi akibatnya UMK 2013 yg dihitung 112% asal KHL menjadi Rp. 1.769.000,00 atau naik 20% asal UMK tahun 2012. Ternyata, entah apa pertimbangannya, Walikota menuruti begitu saja tuntutan buruh buat menyamakan beserta UMK DKI Rp. 2,2 juta/bulan, tanpa mempertimbangkan keberatan asal pelaku industri. Padahal, kalau industri tutup alasannya adalah tak mampu bayar, bukankah pemerintah jua yg kelimpungan menghadapi kenaikan pengangguran & tingkat kriminalitas?
Investasi pun akan mandeg, yg skala besar maupun mini, sama-sama merasa berat. Yang skala besar mempekerjakan ribuan orang akan merasa berat alasannya adalah magnitude kenaikan upah akan sangat tinggi. Yang skala mini & menengah akan megap-megap alasannya adalah modal & omzetnya memang tidak besar. Ambil model perusahaan X yg omzetnya hanya Rp. 10 M/tahun, pekerjanya hanya 100 orang. Kalau nanti mereka harus menyisihkan Rp. 3 juta/orang/bulan buat labor cost, maka sebulan mencapai Rp. 300 juta, setahun menjadi Rp. 3,6 M. Belum biaya material & ongkos produksi dan pemasaran & distribusi produknya. Apa masih mampu mengantongi laba atau justru buntung? Kalau demikian, tak galat andai saja pelaku UKM lebih menentukan mendepositokan saja modalnya yg tak seberapa, ketimbang tiap bulan harus nombok buat membayar upah pekerja. Orang berusaha tak sekedar menyediakan lapangan kerja bagi orang lain, akan tetapi jua ingin laba bukan?
Pekerja mampu berdiri diatas kaki sendiri mirip ini yg menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri, tak akan mampu mentargetkan kenaikan penghasilan buat mengejar laju kenaikan harga pasca kenaikan upah yg sangat tinggi (foto: doc. pribadi)
Misalkan anda punya dana Rp. 200 jutaan, lalu membuka bisnis toko roti & kue rumahan yg mempekerjakan 30-an orang dalam 2 shift kerja. Katakanlah anda nisbi memanfaatkan dapur & garasi samping tempat tinggal atau sekedar menyewa ruko mini. Roti produksi anda dijual pribadi dalam outlet sendiri, dititipkan dalam toko-toko & dijajakan keliling komplek-komplek perumahan. Dengan UMK baru, anda harus menyediakan Rp. 90 jutaan buat upah tenaga kerja. Sudah hampir separuh modal anda habis bukan? Lalu berapa rupiah anda akan menjual roti/kue agar bisnis anda bertahan & tidak merugi? Belum lagi kalau ada kenaikan harga tepung, gula, telur, dll. Salahkah andai saja akhirnya anda menentukan menutup saja bisnis itu atau memperkecil skalanya agar nisbi hanya mempekerjakan sanak famili sendiri? Fenomena macam inilah yg akan mewarnai mayapada bisnis tahun 2013 nanti. Dampak asal sebuah kebijakan populis tanpa kajian mendalam & mempertimbangkan banyak aspek. Bagi anda yg gajinya tak ikut naik mirip UMK, bersiaplah buat pusing memikirkan tingginya inflasi yg bakal tak terkejar. Semoga saja masih ada jalan keluar yg wajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar