[caption caption="Demo buruh musiman tahunan kepada Jakarta I Dok Pribadi"][/caption]
Jelang setahun masa pemerintahan Presiden Jokowi-JK, paket kebijakan ekonomi Indonesia IV asal Presiden Jokowi dikeluarkan. Paket kebijakan ekonomi ini dipercaya solusi jalan tengah dalam kondisi ekonomi yang tengah terpuruk. Juga upaya jalan tengah antara kebutuhan (1) industri, (2) buruh, (3) sosialisme Indonesia, serta (4) ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Serta merta buruh ribut. Menolak. Mengancam mogok. Sedangkan global urusan ekonomi serta masyarakat banyak menilai paket ekonomi ini menjadi peletak dasar ekonomi yang stabil serta membela buruh. Paket ekonomi IV ini merupakan persiapan buat menghapus outsourcing buat bidang housekeeping serta security. Mari kita tengok dilema soal paket kebijakan ekonomi IV Presiden Jokowi beserta hati riang gembira senang sentosa senang suka-cita pesta-pora ria menyanyi menari sesukanya senantiasa selamanya.
Selama 10 tahun ekonomi Indonesia kepada bawah rezim pengangguran SBY nir memiliki pondasi yang kokoh. Keropos. Pondasi ekonomi Indonesia dibangun atas azas seolah-olah. Pondasi ekonomi Indonesia artinya pondasi ekonomi konsumsi impor beserta sedikit urusan ekonomi industri kepada dalam negeri. Pondasi ekonomi Indonesia artinya berbasis kepada Indonesia menjadi importir serta market alias pasar. Para pengusaha hanya memanfaatkan regulasi impor buat menggerakkan ekonomi.
Buruh menjadi golongan marjinal yang hanya mengandalkan UU No 13 mengenai Ketenagakerjaan menjadi tameng. UU No 13 ini menjadi tonggak perubahan honor atau upah buruh ke titik nadir. Marjinalisasi buruh terjadi. Pekerja atau buruh digaji minimal. Sejatinya upah minimum UMP (upah minimum provinsi) dijadikan dasar upah minimum yang wajib dibayar oleh majikan kepada buruh.
Namun, yang terjadi artinya bahwa pengusaha membayar upah minimum. Kalau pun kepada atas UMP maka besarannya Cuma Rp 10.000 atau Rp 1,500 kepada atas UMP. Secara aturan sudah memenuhi kondisi. Upah sudah kepada atas UMP. Ini tindakan pengusaha yang menipu diri serta kejam terhadap buruh. Tentu ini asal kacamata berkualitas di optik tunggal normal manusia, bukan pengusaha.
Di sisi lain, buruh kepada Indonesia, khususnya bidang padat karya, terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama artinya buruh berketrampilan, kedua buruh berketrampilan kurang, serta ketiga buruh tanpa ketrampilan. Namun, ketiganya memiliki kecenderungan: kurang disiplin serta malas. UU No 13 sejatinya melindungi kelompok ini. Hanya kepada Indonesia pemecatan buruh mengharuskan pengusaha membayar ganti rugi serta pesangon. Bagi karyawan tetap yang malas, berlindung kepada UU No 13 artinya senjata yang membuat pengusaha tak berkutik.
Nah, kepada tengah kondisi pekerja yang kurang produktif, lahirlah senjata yakni outsourcing. Outsourcing ini menjadi jalan tengah buat (1) menindak kebiasaan tingkah karyawan tetap tetap yang kurang produktif, (2) membuat upah buruh murah yang tak naik-naik bagi pekerja, (3) efesiensi bagi pengusaha atas nama investasi. Outsourcing dilahirkan buat menindak sebagian mini karyawan tetap yang ugal-ugalan nir produktif.
Akibatnya, hampir seluruh posisi pekerja yang sangat strategis serta menelan banyak pekerja mirip housekeeping, security alias satpam, atau dulu mirip hansip, serta hanra menggunakan tenaga outsourcing. Kondisi ini lebih parah lagi karena banyak penipuan pekerja atas nama pekerja kontrak. Kontrak habis dilanjutan outsourcing. Artinya? Pada masa produktif buruh diperas beserta standard upah hanya cukup buat makan serta kontrakan doang sama anak istri kepada rumah petakan. Itu filosofinya.
Nah, kondisi jelek itu akan distabilkan beserta paket kebijakan upah yang stabil: standard formula kenaikan upah yang terang terukur. Pun paket kebijakan ini ditambah beserta bonus kesejahteraan sosial mirip BPJS, transportasi, Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sudah diubah, serta aneka tambahan buat menaikkan kesejahteraan buruh bukan hanya asal komponen upah doang.
Selama ini buruh hanya menuntut KHM serta KHL namun beserta kriteria yang nir terang. Apa penyebabnya? Formula kenaikan honor atau upah kabur serta janggal. Maka setiap tahun terjadi kekisruhan karena ketidakjelasan. Dan buruh sporadis menang. Hampir selalu kalah. Penyebabnya? Subyektivitas pandangan yang nir sama. Maka kebijakan ekonomi IV ini menaruh kejelasan mengenai formula kenaikan serta kepastian: 10 % minimal. Dasarnya 5% ditambah angka inflasi tahun berjalan.
Aika kondisi ini stabil, maka akan sangat menguntungkan bagi rakyat, pengusaha, serta buruh yang kepada gilirannya UU No 13 mengenai outsourcing sama sekali dihapus: hanya spesifik kepada global tertentu mirip perminyakan serta pertambangan misalnya.
Namun, wajib timbul kebijakan transisional yang menjembatani proses alih kebijakan serta ketentuan buat penghapusan outsourcing. Perlu dilihat pula bahwa agenda Presiden Jokowi buat penghapusan outsourcing ini nir mudah karena banyak perusahaan outsourcing dimiliki oleh para pejabat atau mantan pejabat atau pimpinan perusahaan swasta yang duduk ongkang-ongkang kolusi memeras buruh beserta pekerja outsourcing yang gajinya pas-pasan.
Maka perlu seni manajemen pelan serta transisional buat memperbaiki nasib buruh serta menghindari upah murah kepada kalangan pekerja kepada Indonesia. Jadi, upah buruh beserta formula kenaikan stabil dalam Paket Kebijakan Ekonomi IV Presiden Jokowi menjadi peletak dasar bagi (1) menghindari upah buruh murah, (2) kepastian kenaikan upah bagi buruh serta pengusaha, (3) upaya transisi membentuk pondasi ekonomi yang lebih bertenaga, (4) rangkaian upaya buat menghapus pekerjaan outsourcing kepada bidang security serta housekeeping yang dikuasai oleh beberapa gelintir pengusaha yang memeras jutaan pekerja.
Selain itu, paket ini pula berupaya menjaga nir terjadi PHK bagi karyawan serta peletak dasar ekonomi yang berbasis kemanusiaan serta sosialisme beserta aneka tunjangan sosial.
Salam senang ala aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar