Senin, 01 Januari 2018

Hiroshima

Hiroshima

[caption id="attachment_114477" align="alignleft" width="300" caption="sampul kitab yang menampilkan gambar seorang ibu serta anaknya, 4 bulan usai jatuhnya bom "][/caption]

John Hersey tergugah buat menulis sesudah atom meluluhlantakkan Kota dalam 6 Agustus 1945. Ia mungkin beranggapan bahwa imbas nuklir yang dikembangkan Barat punya dampak yang akbar buat masa depan insan. Maka, Hersey pun menuju Jepang. Tiga pekan ia melakukan reportase. Ia catat dengan lebih jelasnya bagaimana atom mahahebat itu jatuh serta membumihanguskan . Hersey dengan tekun melakukan verifikasi. Ia kemudian memilih enam narasumber sebagai bahan liputan.

Ada Nona Toshiko Sasaki. Ia artinya juru tulis di Departemen Personalia East Asia Tin Works. Waktu bom jatuh, Sasaki sedang berbincang dengan seorang gadis di sebelahnya. Kemudian ada Dokter Masazaku Fujii. Fujii punya sebuah tempat tinggal sakit swasta. Saat atom tiba ia sedang duduk nyaman di beranda rumahnya.

Kemudian ada Nyonya Hatsuyo Nakamura. Nakamura artinya seorang penjahit. Suaminya telah berpulang. Ia melihat pemandangan aneh dari ventilasi tempat tinggal ketika atom bertandang ke bumi Sakura.

Lantas ada Dokter Terufumi Sasaki. Ia dokter bedah, usianya masih belia. Saat atom dijatuhkan pesawat B-29, ia sedang berjalan di koridor tempat tinggal sakit sembari membawa spesimen darah yang dipakai buat tes wasserman.

Dua yang lain ialah Pendeta Tanimoto serta Pastur Kleinsorge berkebangsaan Jerman.

*

[caption id="attachment_114480" align="alignright" width="300" caption="bom di "][/caption]

Pagi itu Pendeta Tanimoto bangun jam lima. Seperti biasa, ia sendirian di dalam gereja kecilnya. Sejak beberapa hari lalu, istri serta bayinya yang berusia satu tahun, diungsikan ke tempat tinggal seorang sejawat di Ushida. Tanimoto telah yakin suatu waktu bakal dijatuhi atom. Dari semua kota penting di Jepang waktu itu, cuma dua yang belum disambangi 8-29 San alias Pesawat B-29: Kyoto serta .

Tanimoto hari itu sedang menolong Tuan Matsuo memindahkan barang-barang. Sirine yang menandai adanya pesawat mendekati nyaring terdengar. Kedua orang itu tak menggubris, mereka telah terbiasa dengan bunyi itu. Mereka mendorong gerobak ke arah tempat tinggal Matsuo yang letaknya relatif tinggi. Mereka kelelahan. Peluh berjatuhan dari tubuh keduanya. Gerobak berhasil masuk pekarangan.

Rumah ini galibnya tempat tinggal orang Jepang kebanyakan. Bangunannya memiliki kerangka serta dinding dari kayu. Fungsinya ialah menopang atap genting yang berat. Di seberangnya ada taman batu. Suara pesawat tidak terdengar. Sunyi saja yang terasa.

Tiba-tiba kilatan cahanya yang akbar melintasi langit. Sinarnya bak cahaya mentari. Pendeta Tanimoto ingat benar kalau cahaya itu bergerak dari timur ke barat, dari kota menuju perbukitan. Insting yang menghasilkan mereka bertindak pascaledakan. Matsuo berlari menaiki tangga. Ia meloncat ke dalam. Ia kubur dirinya di antara gulungan alas tidur.

Sementara Pendeta Tanimoto bergerak empat atau lima langkah. Ia menjatuhkan diri di antara dua batu akbar. Perutnya menabrak sebuah batu akbar. Mukanya menghadap batu. Ia tak melihat apa yang terjadi. Ia hanya mencicipi tekanan tiba-tiba yang diiringi jatuhnya pecahan papan serta genting di atas badannya.

*

[caption id="attachment_114484" align="alignleft" width="300" caption="little boy yang menghancurkan "][/caption] Nyonya Hatsuyo Nakamura selalu menaati perintah pemerintah andai ada ancaman pesawat pengebom. Termasuk malam sebelum pagi ketika atom jatuh. Nyonya Nakamura membangunkan 3 anaknya. Ia kenakan kostum hangat kepada 3 butir hatinya itu. Niatnya tidur di Lapangan Parade Timur sebagai upaya paling "aman" menghadapi sergapan B-29. Tapi, jam dua dini hari, anak beranak itu kembali ke tempat tinggal. Lantaran lelah, keempatnya terlelap. Baru jam tujuh paginya bunyi sirine terdengar lagi. Nakamura masih sempat menghidupkan tungku serta mengolah nasi.

Ia lalu memandangi tempat tinggal para tetangga. Di detik itulah tiba-tiba cahaya putih berkelebat. Ia belum pernah menemukan cahaya yang lebih putih daripada ketika itu. Sangat putih! Refleks, ia memburu anak-anaknya.... hingga ia serasa terbang ke ruangan sebelah. Melewati ranjang serta terlempar beserta beberapa bagian tempat tinggal. Itu 400 kilometer dari sentra ledakan!

Tubuh penjahit yang menjanda itu jatuh. Reruntuhan genting menguburnya. Semua sebagai gelap. Didengarnya sang anak memanggil serta menangis, "Ibu, tolong aku." Anak terkecilnya, Myeko, terkubur setakat dada serta bergeming saja. Nyonya Takamura tak melihat dua anaknya yang lain.

*

[caption id="attachment_114485" align="alignright" width="300" caption="jarum jam berhenti tepat ketika bom dijatuhkan"][/caption]

Dokter Masazaku Fujii bangun tepat jam enam pagi. Ia mesti mengantarkan seorang tamu ke stasiun. Padahal, setiap hari, dokter kaya serta hedonis itu baru bangun jam sembilan pagi.

Bersama sang tamu, ia berjalan kaki menuju stasiun. Untung jaraknya tak jauh. Setelah kelar mengantar tamu, Fujii pergi. Ia enggan berada di luar. Panas serta gerah. Jam tujuh ia mendengar sirine meraung-raung.

Sinar mentari menghasilkan panas. Dokter itu membuka bajunya. Ia cuma berpakaian dalam. Menuju beranda, ia kemudian membaca surat kabar. Ia leyeh-leyeh di teras yang separuh bagiannya menjorok ke sungai. Dengan bersila, dipakainya kacamata berkualitas di optik tunggal baca. Deretan huruf di koran Osaka Asahi ia baca. Saat sedang membaca itulah ia melihat kilat. Ia cepat berdiri. Jantungnya berdegup kencang sekali. Sesaat bangunan mulai miring. Dengan gemuruh, konstruksi itu ambrol ke sungai. Fujii berada 1,4 kilometer dari sentra ledakan. Yang terasa kemudian ialah ia dikelilingi air. Untung kepalanya masih di atas. Ia mampu bernapas meski dua kayu menekannya dengan posisi tegak. Bahu kirinya terasa nyeri, kacamata berkualitas di optik tunggal baca tak tersangga lagi oleh batang hidungnya.

*

[caption id="attachment_114486" align="alignleft" width="300" caption="siluet korban bom "][/caption]

Sudah dua hari Pastur Wilhelm Kleinsorge yang berasal Jerman itu terkena diare. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya yang baru 38 tahun. Pastur ini punya jakun yang menonjol. Dadanya tipis. Tangannya menggantung. Kakinya akbar. Ketika berjalan, ia membungkuk sehingga tampak sangat kaku. Kleinsorge berdiam di tempat tinggal misionari. Ia tinggal beserta beberapa sejawat pastur: Cielsik, Schiffer, serta Pastur Kepala La Salle.

Hari itu jemaat yang melakukan misa sedikit. Sirine meraung-raung. Kleinsorge segera mengubah pakaiannya dengan seragam milier. Itu ia peroleh ketika mengajar di Sekolah Menengah Rokko di Kobe.

Jam delapan pagi sirine menunjukan aman berbunyi. Semua lega. Kleinsorge bergegas menuju kamar. Semua kostum ia tanggalkan. Cuma kostum dalam melapisi tubuh. Ia berbaring miring di sisi kanan ranjang. Stimmen der Zeit mulai ia baca. Tak lama, semburat kilat hebat timbul. Sang pastur berpikir sebuah bom niscaya telah jatuh tepat di atas kepalanya. Dugaan itu beralasan sebab sentra ledakan cuma 1,28 kilometer dari wilayah berdirinya.

Dalam beberapa detik Kleinsorge hilang pencerahan. Ia tak tahu niscaya mengapa sesudah ledakan ia mampu keluar dari tempat tinggal misionari. Yang diingat, ia berjalan di kebun misionari cuma memakai kostum dalam.

*

[caption id="attachment_114488" align="alignright" width="300" caption="Suasana keliru satu sudut "][/caption]

Ini tempat tinggal Dokter Terufumi Sasaki. Berada di Mukaihara, 40 kilometer dari kota. Ia tinggal beserta ibunya. Dokter berusia 25 tahun ini idealis. Ia baru menuntaskan studi di Universitas Kedokteran Timur di Tsingtao, China. Hari itu sebetulnya ia tidak sehat. Nawaitunya biar tak bekerja. Cuma, unsur tanggung jawab menghasilkan raganya dikuat-kuatkan buat bekerja.

Dengan trem, ia menuju wilayah bekerja di Rumah Sakit Palang Merah. Tepat pukul 07.40 ia tiba di wilayah kerja. Setelah melapor kepada dokter bedah, ia berlalu ke kamar di lantai dasar buat mengambil contoh darah yang mau diuji wasserman.

Satu langkah sebelum mencapai ventilasi yang terbuka, tiba-tiba cahaya ledakan atom dipantulkan oleh koridor mirip lampu kilat raksasa. Rumah sakit yang cuma 1,lima kilometer dari sentra ledakan itu luluh lantak. Semua wilayah tidur terjungkal. Darah di mana-mana. Banyak pasien berlarian sembari histeris. Histeria menyalak dengan sadistis. Seorang rekannya di laboratorium telah tewas. Sasaki sadar, cuma dialah dokter yang tak terluka di tempat tinggal sakit itu. Ajaib!

*

[caption id="attachment_114489" align="alignleft" width="300" caption="dampak radiasi bom terhadap mata "][/caption]

Nona Toshiko Sasaki artinya juru tulis di perusahaan East Asia Tin Works. Ia tak memiliki kontak saudara dengan Dokter Sasaki.

Nona Sasaki berdiam beserta ayah, ibu, serta 3 saudara termuda. Satu di antaranya masih bayi. Ia mengolah buat mereka. Ketika rampung mengolah, mencuci, serta merapikan alat-alat dapur, waktu memperlihatkan pukul 07.00.

Butuh 45 menit buat dia menuju pabrik tempatnya bekerja. Setelah membantu persiapan pemakaman seorang rekan di pabrik itu, Nona Sasaki duduk di ruang kerjanya. Posisi duduknya jauh dari ventilasi di sebelah kiri. Di belakangnya terdapat sejumlah rak kitab milik pabrik. Ia kemudian merapikan kertas. Ia berkewajiban mengisi catatan perihal karyawan yang baru masuk, yang keluar, serta yang memasuki Angkatan Darat.

Saat kepalanya menengok menjauhi ventilasi, ruangan itu dipenuhi cahaya menyilaukan. Sang nona ketakutan. Ia bergeming di kursinya. Pabrik ini berada 1,46 kilometer dari sentra ledakan. Semua benda beterbangan. Langit-langit runtuh. Orang yang ada di atas berjatuhan. Berdebam. Nona Sasaki terkubur di bawah kitab-kitab dengan kaki yang patah.

*

[caption id="attachment_114491" align="alignright" width="300" caption="Wanita korban radiasi bom "][/caption]

Ledakan atom dalam 6 Agustus 1945 itu sebagai awal menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Di Indonesia, momentum itu dipergunakan para pemuda buat memproklamasikan kemerdekaan dalam 17 Agustus 1945.

Ratusan ribu nyawa melayang demi sebuah "pesan perdamaian". Inilah yang kemudian melahirkan revolusi nuklir supaya tak asal-asalan dikembangkan. Negara Barat bahkan ketar-ketir andai wakil dari negara mayapada ketiga atau negara berkembang/miskin, mengembangkannya. Pakistan telah ada, Iran semenjak lama.

Jepang sebagai korban atom dalam Perang Dunia II kemudian berakibat poly reaktor sebagai asal energi serta mereka sukses itu itu. Rupanya, pengalaman dihantam atom berakibat negeri Sakura ini mengembangkan hal yang serupa. Mereka sukses meski kini jua kewalahan sebab reaktor mereka jebol pascagempa serta tsunami beberapa bulan lalu.

*

[caption id="attachment_114492" align="alignleft" width="300" caption="potret John Hersey"][/caption]

Karya jurnalistik yang ditulis Hersey ini memang punya dampak luas buat mayapada. Dengan gambaran awal dari enam narasumbernya ini saja, kita telah mampu mengira-ngira demikian dahsyat ledakan atom hidrogen itu. Cendawan yang terbentuk pascaledakan memang terlihat latif, akan tetapi lengkingan kematiannya memekakkan pendengaran.Efek radiasinya jua mampu menghilangkan satu generasi insan.

Karya Hersey, , ini, kemudian sebagai keliru satu bacaan rujukan andai generik mau belajar soal atom serta sejenisnya.

Namun, kita jua harus mengakui, momentum ini sebagai awal berakhirnya Perang Dunia II serta memantik pencerahan pejuang Tanah Air buat memproklamasikan kemerdekaan.

Karya John Hersey ini diberi judul . Terbit pertama kali dalam 31 Agustus 1946 di majalah The New Yorker. Majalah ini mengusung "jurnalisme baru" dengan karya contoh bercerita atau bertutur. Di Indonesia akrab dianggap jurnalisme sastrawi atau narrative journalism.

Karya Hersey ini adiluhung dalam ranah jurnalisme mayapada. Tahun 1999, di Universitas Colombia, Amerika Serikat, karya ini dipilih oleh panelis yang terdiri dari akademisi serta wartawan sebagai karya jurnalistik nomor satu. Di bawahnya ada Silent Spring yang ditulis Rachel Carson, serta di peringkat ketiga ada In Cold Blood karya Truman Capote.

Andreas Harsono dalam Jurnalisme Sastrawi. Antologi Liputan Mendalam serta Memikat menulis, meski ini masuk genre jurnalisme sastrawi, narasinya tak kental sastra. Malah, tulis Andreas, Hersey mirip menulis laporan panjang buat surat kabar.

Karya Hersey dipilih sebagai peringkat pertama sebab imbas atom itu luar biasa. Andai ia tak dipergunakan secara bijak, bukan mustahil akan sebagai senjata pemusnah massal di kemudian hari.

Karya Hersey kemudian mengilhami poly jurnalis belia di mayapada menulis dengan gaya bercerita. Pilihan tema yang bertenaga sangat menentukan bagus tidaknya karya. Soal narasumber, tidak mesti orang-orang terkenal.

[caption id="attachment_114494" align="alignright" width="300" caption="potret John Hersey"][/caption]

Lihatlah Hersey. Ia memilih enam orang biasa. Akan akan tetapi, sebab tema utamanya bertenaga, orang-orang biasa ini lalu menjelma sebagai pribadi yang "luar biasa". Mohon biar jua kepada Hersey sebab aku memakai judul aslinya sebagai judul di Kompasiana ini.

Sebelum berangkat meliput ke , Hersey berdiskusi dengan redaktur pelaksana The New Yorker, William Shawn. Ia tawarkan draf 10 laporan, yang keliru satunya soal pengeboman Sekutu dari kacamata berkualitas di optik tunggal penduduk kota itu. Ide ini semula hendak dikerjakan kontributor lain terhadap Kota Cologne yang jua dihujani bom oleh Sekutu. Akan akan tetapi, pengeboman terhadap menghasilkan Cologne tampak terlalu mini.

Di kapal laut bepergian dari China ke Jepang, Hersey iseng membaca novel The Bridge of San Luis karangan Thornton Wilder yang bercerita perihal peristiwa alamdi Peru dalam abad ke-18. Hersey menilai ide Wilder yang menceritakan peristiwa itu dari pandangan beberapa korban mampu dipakainya.

Setibanya di , Hersey mewawancarai 40-an akademisi serta pakar. Dia jua bicara dengan para korban, lima di antaranya orang Jepang serta seorang pastur Jerman. Keenam orang itulah yang dijadikan Hersey sebagai karakter utama dalam laporannya.

Hersey menceritakan kedahsyatan bom itu. Ada kulit yang terkelupas, desas-desus bom misteri, kematian yang mengenaskan, dendam, inferior, serta sebagainya.

[caption id="attachment_114495" align="alignleft" width="300" caption="Sampul New Yorker yang memuat artikel John Hersey"][/caption]

Ketika kembali ke Amerika, Hersey butuh enam minggu buat menulis. Hersey membuatnya sebagai empat bagian. Dia berharap The New Yorker menurunkan laporannya dalam empat edisi. Shawn mulai mengedit. Keempat bundel naskah selesai ia sunting. Shawn beranggapan naskah Hersey sangat bagus. Kepada sang editor, Harold W. Ross. Shawn menyampaikan naskah Hersey tidak mampu diturunkan empat kali, ia harus turun sekaligus. Naskah sepanjang 30 ribu kata itu akhirnya diputuskan buat terbit dalam sekali edisi. Selama 10 hari, Ross serta Shawn mengedit goresan pena Hersey. Mereka acap mengajukan pertanyaan, antara lain soal konsistensi, bahasa, akal, diksi, serta kejelasan kepada Hersey. Keduanya bekerja luar biasa, dimulai jam sepuluh pagi, rampung jam dua malam. Begitu selama sepuluh hari. Sehari sebelum diterbitkan, The New Yorker mengirim edisi majalah itu ke surat kabar. Redaksi membagikan pengantar betapa bom itu membunuh 100 ribu masyarakat serta melukai 100 ribu penduduk yang totalnya 245 ribu jiwa.

Ketika timbul di pasar, majalah itu laris manis. Tak ada media yang tak menulis soal pekan itu. The New York Times memuatnya. The New York Herald Tribune menghasilkan ringkasannya. America Broadcasting Company membacakan laporan itu buat pendengarnya selama empat hari berturut-turut. Semua orang di New York membicarakan laporan itu; di kedai kopi, di kereta api, di tempat tinggal-tempat tinggal.

[caption id="attachment_114496" align="alignright" width="300" caption="Einstein"][/caption]

Laporan Hersey memicu sebuah gerakan antibom nuklir yang gemanya terasa hingga beberapa dasa warsa, terutama dalam suasana Perang Dingin. Laporan Hersey, tulis Andreas Harsono, mengunggah pencerahan insan bahwa bom nuklir tak layak dipakai dalam perang sebab secara pukul rata membunuh semua orang, sipil atau militer, wanita serta anak-anak.

Andreas melanjutkan, laporan Hersey jua mengukuhkan The New Yorker sebagai majalah berfokus. Dia bukan lagi majalah ringan. Kehadirannya diperhitungkan. Konon, fisikawan Albert Einstein tak mendapatkan edisi 31 Agustus 1946 itu. Einstein ingin membeli seribu butir buat diberikan ke teman-temannya. Majalah itu laku keras. Eisntein tak kebagian.

*

[caption id="attachment_114497" align="alignleft" width="300" caption="monumen perdamaian "][/caption]

Beruntung kita di Indonesia mampu membaca karya adiluhung ini. Komunitas Bambu telah menerjemahkan karya orisinal Hersey ini ke dalam bahasa Indonesia. Judulnya sebagai: , Ketika Bom Dijatuhkan. Tebalnya cuma 163 halaman. Bukunya pun dicetak mini. Dibawa ke mana-mana jua ringan saja.

Buat mayapada, terang, karya Hersey ini punya imbas yang luar biasa. Oh iya, Hersey ini lahir dalam 17 Juni 1914 di Tientsin, China. Ia lulus dari Cambridge University serta menulis buat Time, Life, serta The New Yorker. Ia jua menulis The Wall dalam 1950. Ini novel sejarah pembantaian Nazi terhadap Warsawa Ghetto. Hersey jua menulis The Alcier Motel Incident yang berkisah mengenai pembunuhan sebab ras oleh polisi di 12th Street Riot Detroit, Michigan, dalam 1968. Karyanya berjudul A Bell For Adano memenangkan Pulitzer Prize dalam 1945. Karya lainnya artinya A Single Pebble, The War Lover, The Child Buyer, serta White Lotus. Hersey meninggal dalam 24 Maret 1993 di rumahnya di Key West. Terima kasih, Hersey!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top