Senin, 15 Januari 2018

Kacamata Sendiri

kacamata berkualitas di optik tunggal Sendiri

Pernahkah anda bertemu beserta seseorang yang mempunyai bibir sumbing dalam tengah bepergian yang sedang anda lalui? Sadar atau tidak anda niscaya akan melirik dirinya & mungkin memperhatikan dirinya yang terlihat 'asing' bagi anda. Muncul berbagai pikiran dalam kepala anda, dimulai dari 'ih, aneh' hingga 'untung saya tidak seperti itu'. Sadar atau tidak anda telah memandangnya dari kacamata berkualitas di optik tunggal anda sendiri.

Kembali kepada pola pikir. Dalam benak anda & saya, mungkin seseorang insan yang normal adalah seseorang yang mempunyai mata, hidung, telinga, verbal, rambut, tangan, kaki, & badan seperti layaknya orang kebanyakan. Definisi normal yang terbentuk dalam pikiran kita adalah 'seperti orang kebanyakan yang kita lihat'. Aika ada yang berbeda dari itu maka julukan 'aneh', 'asing', atau julukan lainnya akan segera muncul dalam pikiran anda.

Sejak saya merogoh mata kuliah Antropologi dalam Universitas Indonesia semester dua kemarin, saya menjadi sadar bahwa dalam memandang segala sesuatu janganlah hanya melalui kacamata berkualitas di optik tunggal atau pandangan kita sendiri saja. Apapun yang kita lihat, dengar, atau bahkan lakukan, cobalah untuk selalu memakai 'kacamata berkualitas di optik tunggal' beserta perspektif yang tepat. Sebagai model, ketika saya memasuki sebuah desa yang sebagian akbar penduduknya buta huruf, apakah saya akan langsung menilai mereka sebagai orang yang bodoh? Alangkah bodohnya saya andai saja saya langsung menilai mereka bodoh. Masih poly yang wajib diselidiki, seperti apakah fasilitas pendidikan dalam desa tersebut sudah memadai, bagaimanakah kondisi ekonomi penduduk yang buta huruf tersebut, apakah mereka tidak mempunyai biaya untuk sekolah, ataukah telah terjadi hal-hal lain? Masih poly yang wajib dilihat sebelum saya menilai mereka bodoh. Istilah kasarnya, ya, mereka memang bodoh andai saja saya membandingkan mereka beserta penduduk dalam kawasan Ibu Kota DKI Jakarta yang sudah mempunyai fasilitas pendidikan yang memadai dan sudah cukup poly penduduk yang bisa untuk membiayai sekolah. Tetapi, apakah perbandingan tersebut merupakan suatu hal yang layak? Think again...

Terlebih lagi ketika kita berbicara soal budaya. Setiap kawasan mempunyai budayanya masing-masing & unik. Ada budaya yang wajib menculik sang wanita sebelum dinikahi, ada wanita yang wajib 'dibeli' sebelum dinikahi, ada yang merayakan hari raya nyepi hingga bandara pun tidak bisa beroperasi, & masih poly sekali budaya-budaya yang ada dalam mayapada ini. Tentu saja, ketika kita sudah terbiasa menjalani suatu budaya & kita mencoba memasuki budaya lain, akan terasa ada yang berbeda. Kata-kata 'aneh', 'asing', & lain-lain tadi kembali hadir dalam pikiran kita.

Ketika kata-kata 'aneh', 'asing', 'ih', atau kata-kata rata itu mulai muncul dalam pikiran anda, cobalah untuk melihat ketika anda berada dalam posisi orang itu. Ketika seluruh insan dalam mayapada ini terlahir beserta urutan dari atas terdapat kaki, muka, & tangan berada dalam bawah, maka posisi kita sebagai insan saat ini mungkin bukanlah sebagai insan yang normal. Apa definisi normal? Tidak ada yang aneh jikalau kita mau melihat segala sesuatu lebih dekat & mencoba menilai melalui 'kacamata berkualitas di optik tunggal' yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top