Minggu, 11 Februari 2018

May & Gadis Populer

May & Gadis Populer

Tahun ajaran baru selalu berhasil membuat perutku mulas tiba-tiba, kau tahu, mirip muncul kupu-kupu logam menari di perutmu! Meskipun berhasil masuk ke sekolah yang kuinginkan, namun aku adalah gadis yang nir tahu bagaimana caranya memulai sesuatu. Perkenalan, maksudku. Dan rombongan gadis-gadis populer itu, bayangannya telah menghantui beberapa malam  ini. Terdengar terbelakang, bukan ?

Aku pretensi bersemangat menghabiskan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi memakai selada timun. Mama curiga, lantaran dia tahu mengenaiku (yeah, ibu mana sih, yang nir tahu mengenai anaknya?). Ia mulai menasihatiku panjang pendek mengenai betapa buruk ideku untuk menahan lapar hanya lantaran ingin terlihat kurus, setidaknya pada hari pertama sekolah. Mama tahu wacana usahaku yang konyol, mirip berusaha memuntahkan apa yang telah aku makan, kau pernah dengar itu? Aku mencarinya di internet dan mendapatinya adalah sebuah kesalahan akbar. Semacam penyakit kegilaan, kurasa. Aku tidak begitu paham, namun yang jelas adalah aku wajib tetap waras, untuk bisa bersekolah. Ini sedikit mengerikan jadinya.

Sudah kau siapkan semua  yang kau butuhkan  nanti? ungkapnya memakai raut sedikit cemas. Wow, Ma, bukankah akulah yang seharusnya merasa cemas ? Ini hari terpenting dalam hidupku, atau nir, terserahlah. Tapi aku mendapatkan bisikan hati bahwa hari ini akan terjadi sesuatu. Aku berdoa semoga nir muncul tragedi yang memalukan, mirip, kacamata berkualitas di optik tunggal lensa supertebalku jatuh dan terinjak sang salah seorang gadis populer lalu aku jadi setengah buta dibuatnya. Oh, menakutkan!

Mama baru saja mengambil sesuatu dari kamar, dan kurasa itu pita. Ia berbicara wacana pita keberuntungan akhir-akhir ini yang dulu pernah dipakai untuk menghadiri uhm.. semacam pesta dansa begitulah, ( prom night, mungkin?) dan artinya itu tahun 1970-an, dan kini merupakan kekonyolan apabila pita itu inheren di rambutku yang ikal mekar. Ma, tolong, jangan lakukan.

Mungkin kau nir percaya, akan tetapi muncul yang magis dari pita istimewa ini. Ujar Mama antusias. Oh, ini relatif menggelikan. Magis, katanya. Aku jadi teringat sihir, dukun dan semacamnya.

Tidak ma. Kau tahu kan, aku nir senang macam-macam? Tentu saja aku senang macam-macam, akan tetapi yang keren! Bagaimana apabila Mama membelikanku sepasang sepatu yang lumayan? Itu lebih bagus dan akan menolong rasa percaya diriku melebihi pita konyol itu.

Mama memandangku kecewa, dan sesaat kemudian terdengar bunyi Papa memanggil dari teras, kencang sekali seakan-akan kami ini tuli.

Cepatlah, kau tidak boleh terlambat. Ingat, duduk paling depan ya? Bisik mama sambil mengecupku. Hmm.. pertama, aku setuju bahwa aku sahih-sahih tidak boleh terlambat semenit pun, akan tetapi lantaran, bukannya aku ingin duduk paling depan. Kau salah, Ma. Aku kapok jadi gadis-gadis yang duduk di bangku depan. Mereka mengira kami aneh, kau tahu Ma? Aika aku terlahir pulang, aku lebih menunjuk menjadi gadis yang populer daripada gadis yang duduk di barisan depan. Pintar, akan tetapi kurang pergaulan. Satu lagi, mengapa aku nir mewarisi rambut halus dan warna kulitmu Ma? Sulit sekali bagi seorang gadis seusiaku, untuk berjalan menghadapi dunia memakai warna kulit hitam, rambut keriting mekar dan tubuh yang kurang tepat. Tiba-tiba aku merasa jengkel, lalu mencium pipi mama dan berpamitan alakadarnya. Sedan tua papa telah menunggu.

*

Papa menggeleng-gelengkan kepalanya. Begitupun aku. Sial sekali, si kakek mancung, begitu aku menyebut sedan tua papa yang tidak jarang terbatuk-batuk lalu mogok seenaknya itu.

Kini aku wajib meninggalkan papa yang mengutak-atik si kakek mancung agar mesinnya menyala lagi (entah hingga berapa jam), dan menyetop angkutan generik untuk hingga ke sekolah baruku. Ini sahih-sahih runyam dan aku kentara akan terlambat!

Perjalanan memakai angkutan generik sedikit nir menyenangkan. Aku berkeringat dan kutebak, kini rambutku semakin mekar tidak karuan. Seragam yang telah disetrika mama menjadi kusut, dan lupakan bangku belakang. Karena wilayah duduk yang biasanya kosong adalah di jajaran depan. Nah, aku telah bisa menebak masa depanku 3 tahun ke depan tanpa mendatangi tukang ramal. Aika kau pernah menonton serial televisi yang bintang utamanya gadis aneh,  gendut, pandai, dan hanya mempunyai sedikit sahabat ,yah, itulah aku !

Aku membutuhkan satu jam untuk hingga ke sekolah memakai rute memutar. Aika sedan tua papa nir mogok, maka hanya diperlukan setengah jam saja. Sudah nasib. Kini aku mencari kelas yang telah ditentukan memakai langkah tergesa-gesa. Ada cermin yang barusan kulewati, dan menampilkan sosok gadis mengerikan memakai lensa tebal, dawai gigi dan rambut mekar. Itu aku! (lagi-lagi).

Benar saja, semua bangku telah terisi kecuali di bagian depan. Tapi.. aku mengerutkan kening. Apa aku nir salah lihat ? Seorang gadis yang duduk di meja yang masih kosong itu, bukanlah gadis yang buruk (Asal kau tahu ini meja yang muat untuk 2 orang, jadi setiap anak mempunyai sahabat duduknya masing-masing. Dan oh ya, sahabat dudukmu biasanya akan memilih sejauh mana taraf kepopuleranmu nanti. Lucu sekali bukan?)

Dia nyaris mirip bintang iklan, meskipun penampilannya sangat sederhana. Tidak muncul jam tangan,aksesoris atau apalah. Roknya panjang (di sekolah ini, tiap gadis boleh menunjuk akan mengenakan rok panjang atau pendek), rambut sebahu, dan dari jarak 5 langkah aku bisa melihat betapa halus rambutnya. Gadis iklan itu tersenyum kalem padaku. Hey, tebak apa, dia  bakal jadi sahabat sebangku yang keren!

Aku, Sita. ungkapnya sambil menjabat tanganku pelan. Yakin kau mau duduk di sini? lanjutnya.

Namaku May, dan aku tidak melihat muncul yang lebih baik dari ini. Sahutku bersemangat.

Dia tertawa kecil. Entah kenapa, sesuatu dalam pikiranku sangat menganggu. Kurasa gadis mirip Sita nir akan lama bergaul denganku. Sepertinya gadis itu akan mulai merengek minta dipindahkan ke bangku-bangku belakang di mana habitatnya (gadis-gadis populer)  telah menunggu!

Tak kusangka Sita adalah gadis yang manis dan pandai. Aku sedikit tidak percaya ini. Dia sama pandainya denganku dalam pelajaran ilmu mutlak, sosial, dan bahasa. Setidaknya, jam-jam pertama dia nisbi mengagetkanku lantaran penguasaannya yang menakjubkan. Tuhan nir adil, gerutuku. Tuhan membentuk makhluk yang terlalu tepat dan itu kentara nir adil!

Istirahat pertama dan ke 2, Sita tidak ingin menemaniku ke kantin atau ke manapun. Dia membawa bekal yang kelihatannya sangat enak. Huh. Sudah kuduga, dia akan menolak dan berpikir seribu kali untuk menjadi temanku. Jadi aku cepat-cepat meninggalkannya memakai perasaan kesal. Karena kentara-kentara tadi dia menyuruhku pergi sendiri. Sita berubah dalam waktu yang singkat, bahkan tidak hingga sehari! Memang tidak banyak sih, yang menyukaiku, akan tetapi kurasa itu jahat sekali. Aku menyesal untuk bergaul dengannya dan mulai memikirkan memakai siapa aku akan bertukar bangku.

Kantin sekolah ini luas  dan keren, menurutku. Gadis-gadis populer yang kubayangkan sahih-sahih muncul. Yeah, itu mutlak. Aku pernah sih, memimpikan sebuah sekolah yang semua anak muridnya bermasalah memakai penampilannya. Uhm.. maksudku, nir muncul anak yang nir berjerawat, atau berkacamata, dan nir ambil pusing mengenai gaya. Anak-anak itu hanya memikirkan beasiswa apa yang wajib mereka dapatkan, nilai-nilai yang wajib mereka raih dan sebagainya. Lalu mereka menyadari bahwa aku adalah bagian krusial dari mereka. Aku akan terlihat untuk pertama kali dan seterusnya. Aku relatif gelisah mengenai pemikiran yang nir mungkin itu, lalu menyadari bahwa untuk sementara lagi jam sekolah berakhir dan itu artinya aku bisa bercakap-cakap memakai beberapa gadis  untuk mengatur pertukaran sahabat duduk. Itupun kalau mereka mau.

*

Bel sekolah yang nyaring pertanda pembelajaran hari ini berakhir. Beberapa dari gadis-gadis populer telah tergesa pergi lantaran kudengar mereka merencanakan sesuatu. Semacam pesta perkenalan, begitulah, muncul-muncul saja. Tinggal kami berdua. Aku dan Sita (kuakui ini sedikit menjengkelkan). Mengapa dia tidak pula berkiprah sih, apakah Sita menungguku pergi?

Supir menungguku di depan sekolah. Cetusnya. Huh, supir? Sombong sekali. Lalu kenapa?

Aku naik angkutan generik. Payah, kan? Sekalian saja kubilang begitu, agar dia puas.

Baik kalau begitu, hingga ketemu besok, May. Katanya pelan lalu berdiri dan berkiprah meninggalkanku. Tapi, tunggu. Ya ampun!

*

Aku menangis sendiri di kamar. Ketukan pintu mama tidak kuhiraukan. Aku sahih-sahih merasa buruk hari ini.

Pertama, aku menuduh Tuhan tidak adil, kemudian tanpa alasan yang kentara, aku mengira Sita adalah gadis yang arogan dan wajib dihindari. Padahal..

Aku sangat terkejut tatkala Sita berjalan meninggalkanku, tadi. Ia begitu susah melangkah dan terlihat memprihatinkan. Rupanya Sita mempunyai kelainan di kakinya ! Oh nir.. Rasanya tenggorokanku langsung tercekat dan memakai bunyi parau aku memanggilnya.

Sita..!

Gadis yang kukira arogan itu menoleh ke arahku sambil tersenyum pahit.

Aku hanya tidak ingin membuatmu memalukan, May. Aku sungguh tidak ingin jadi temanmu dan membuatmu memalukan. Itu yang dia bilang, lalu pergi terseok-seok meninggalkanku yang berdiri mematung.

Itu saja yang terjadi. Aku bahkan tidak sanggup berusaha mencegahnya pergi atau bicara sepatahkatapun (minta maaf atau semacamnya) lantaran keterkejutanku.

Ya Tuhan. Apa yang telah kulakukan? Apa yang telah kupikirkan?

*

Sungguh. Aku merasa sangat jahat, bukan hanya hari ini. Namun tahun-tahun terakhir ini. Bukan hanya pada Sita, namun pada diriku sendiri. Aku tidak jarang memaki karunia Tuhan untukku tanpa menyadari bahwa di luar sana, berbagai yang lebih kekurangan.

Kupandangi sepasang kakiku yang tepat, tanpa cacat. Jiwaku sahih-sahih kerdil ! Seandainya aku mirip Sita, mampukah aku melalui kehidupan ini ?

Mama mengetuk pintu kamar untuk yang kesekian kali. Aku menghapus airmataku dan melangkah keluar kamar sambil berjanji. Janji yang wajib kutepati sepanjang hidupku :

Untuk selalu bersyukur.

Sentul, Bogor.

image fom guardian.co.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top