Jumat, 01 Desember 2017

Bila Kekerasan, Bullying, & Teror Geng Menjadi Tradisi Murid-anak didik Sekolah Kita

Bila Kekerasan, Bullying, & Teror Geng Menjadi Tradisi Murid-anak didik Sekolah Kita
Bila Kekerasan, Bullying, & Teror Geng Menjadi Tradisi Murid-murid Sekolah Kita

Fadhil , anak 15 tahun, bangga diterima di sekolah favorit SMAN 34 Jakarta Selatan. Kebanggaan ini tidak berlangsung lama, lantaran 4 bulan kemudian Fadhil sudah menjadi korban kekerasan abang kelasnya. Bermula dari permintaan para abang kelasnya agar dia masuk anggauta geng Gasper. Fadhil tidak dapat menolak lantaran akan dihajar babak belur. Seperti film action, setiap anggauta baru geng Gasper dikumpulkan untuk mengikuti program penggemblengan fisik, yang diadakan setiap Jumat, Fadhil & teman-teman seangkatannya diadu berkeahi satu lawan satu. Setiap anggauta juga wajib menyetor uang Rp6.000,- perhari. Fadhil mendapat tugas menjadi debt collector anak kelas X, dia diberi sasaran menyetor hingga ratusan ribu rupiah setiap Jumat.

Jika gagal memenuhi sasaran, pukulan & tendangan menjadi bantuan gratis. Siksaan fisik itu dia terima di kamar mandi sekolah. Para penganiaya tidak pernah ketahuan guru lantaran mereka punya kode khusus jikalau terdapat guru lewat. Andaikan terdapat guru yang agak tahupun hal itu dianggap kenakalan anak-anak laki-laki biasa yang dapat diselesaikan mereka sendiri. Semula Fadhil masih dapat bertahan menerima siksaan dengan melatih otot-ototnya untuk menunda rasa sakit seperti suku Indian Apache, akan akan tetapi akhirnya dia menyerah. Ayahnya semula tidak memberikan curiga terhadap sang anak. Namun, dia mulai curiga lantaran Fadhil acapkali meminta tambahan uang saku - belakangan diketahui uang itu dia pakai untuk menomboki kekurangan setoran.

Fadhil juga meminta bekal makanan yang poly seperti orang kelaparan & balik  dengan baju kotor & sobek-sobek. Kecurigaan sang ayah memuncak waktu 17 Agustus kemudian Fadhil balik  dengan tulang lengan bawah kiri patah. Sang anak beralasan dia jatuh. Namun ayah Fadhil melihat hal yang agak gasal. Patah tulang itu ditambah bekas luka sundutan rokok. Ibu Fadhil mengecek ke sekolah, & Jumat itu untuk ketiga kalinya ternyata Fadhil membolos lantaran takut disiksa. Dia bersembunyi di rumah keliru seorang temannya. Barulah kemudian Fadhil berterus terang perihal siksaan yang diterimanya selama ini.

Sang ayah kemudian minta pertanggungan jawab sekolah untuk membongkar seluruh penganiayaan itu & melaporkannya ke polisi. Sayang, ketua sekolah tidak begitu tahu bahwa selama ini terdapat geng Gasper di sekolahnya yang beranggotakan 250 orang dengan penganiayaan sadis yang dilakukannya dalam saudara termuda kelas setiap hari.

Ternyata bukan hanya ini, April silam media massa memberitakan penyiksaan yang dialami Adi Saputra, 18 tahun, peserta didik kelas I SMA Pangudi Luhur Jakarta Selatan. Adi dipukuli dengan botol & diintimidasi abang-abang kelasnya lantaran menolak memata-matai teman-teman sekelasnya. Ia bahkan pernah ditelanjangi & & disunduti rokok di keliru satu toilet sekolah yang diklaim menjadi kamar eksekusi. Berbeda dengan teman-temannya yang menentukan bungkam & pindah sekolah, Adi bercerita dalam orang tuanya & melapor ke polisi.

Kasus di SMAN 34 itu bukan persoalan pertama. Sebelumnya terdapat Franky Edward Damar di SMK Pelayaran Maritim Surabaya, yang tewas ketika mengikuti masa orientasi sekolah (MOS). Sebelumnya lagi, tiga peserta didik SMPN 8 Tegal dianiaya ketua sekolahnya. Malah di SD Santa Maria Immaculata, Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, Edo Rinaldo, bocah 8 tahun tewas di keroyok abang-abang kelasnya. Dan kita tentu saja masih terhenyak dengan persoalan termashur, Clif Muntu, peserta didik taruna IPDN yang tewas mengenaskan dianiaya para seniornya yang akhirnya tidak menerima denda yang pantas dalam pengadilan.

Dari definisi, bullying ialah kekerasan fisik & psikologis jangka panjang yang dilakukan seseorang atau gerombolan, terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan dirinya dalam situasi di mana terdapat hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia stress. Dalam persoalan-persoalan dari halaman sekolah diatas, bullying ialah kekerasan fisik & mental yang dilakukan secara tersembunyi & berjangka panjang oleh para peserta didik senior dalam yuniornya yang tidak berdaya & tidak berani melapor lantaran ancaman terus menerus.

Fenomena bullying dulu & kini

Apakah fenomena bullying baru terjadi akhir-akhir ini saja? Tentu saja tidak. Kita seluruh menyadari fenomena ini telah terdapat di institusi pendidikan semenjak puluhan tahun yang kemudian.. Sewaktu aku duduk di kelas III Taman Muda Ibu Pawiyatan, dalam jam kosong aku menngambar di pendopo dirubung teman-teman sekelas yang termakan dengan lukisan Bharatayuda aku, mendadak datang rombongan abang kelas yang benci melihat hal itu & tengkuk aku diinjak, juga punggung aku hingga menghantam lantai pendopo. Teman-teman sekelas bubar menjerit-jerit.

Tapi tidak terdapat seorangpun yang melapor guru. Saya hanya dapat mengaduh & menangis kesakitan. Hal itu terjadi berulang kali hingga aku tidak berani menggambar lagi di pendopo. Selain itu, Teman-teman sekelas yang jago berkelahi acapkali merampas bekal makanan aku dari bunda. Saya balik  dengan duka & kelaparan akan akan tetapi tidak berani lapor siapapun. Ketika pecah G30S PKI keadaan sosial ekonomi musnah sehingga bunda aku tidak dapat lagi memberi bekal makanan mini ke sekolah. Karena aku tidak dapat lagi memberi makanan, teman-teman berbadan besar itu memukuli wajah aku hingga kacamata berkualitas di optik tunggal minus tiga aku pecah berantakan.

Guru wali kelas aku, kelas V, Pak Mujiono, rupanya cukup peka untuk mengetahui bencana ini lantaran beberapa hari aku tidak dengan kacamata berkualitas di optik tunggal. Maka Pak Mudji dengan bijak mengajak aku & seluruh teman sekelas, juga abang kelas, untuk bersepeda ke alam bebas setiap hari Minggu. Seperti ke Prambanan, Borobudur, Goa Selarong, dll. Di sepanjang bepergian bila sepeda-sepeda macet, anak terjatuh, juga jalan kaki mendaki tebing atau menyeberangi sungai, anak-anak harus saling tolong menolong. Pak Muji menjalankan "sistem among" di alam yang keras masa itu.

Anak-anak harus saling membantu antar teman dengan kasih sayang persahabatan, persaudaraan, bukannya saling menyakiti, atau mencelakakan. Lapar haus beserta-sama & makan dengan suka beserta-sama juga. Azas dasar kepramukaan diajarkan eksklusif praktek oleh Pak Muji, bahwa pandu itu setia, berwatak ksatria, amanah & bersahaja, bonafide, siap menolong & wajib berjasa. Penganiayaan & bulying yang kami alami, anak-anak yang "tidak berani berkelahi" di Taman Muda empat puluh 2 tahun yang kemudian itu berakhir sudah.

Mengapa bullying di sekolah-sekolah kini menjadi sangat mengerikan hingga dengan luka berat & kematian? Apa yang keliru dengan global pendidikan kita khususnya korelasi & pengawasan guru-orang tua-murid? Yang pertama mungkin dari segi si anak murid sendiri. Anak-anak belasan tahun itu sedang dalam masa pubertas, masa mencari ciri-ciri diri. Masa dimana sangat diharapkan contoh, panutan, simbol ideal untuk pembentukan keberadaan diri. Heroisme, sadisme, kehidupan geng-geng seperti Yakuza & Mafia, pendayagunaan seksual, gaya hayati vulgar bebas tanpa kebiasaan yang dapat ditinjau tiap hari dalam film-film barat juga sinetron Indonesia di berbagai TV adalah contoh yang ditelan mentah-mentah.

Kedua, contoh konduite orang dewasa yang sangat menyolok tiap hari seperti karikator Oom Pasikom di Kompas. Bentak sang bapak : "Mau sekolah apa mau jadi gangster? Siapa yang ngajarin?". Si anak menjawab kalem : "Bapak!, korupsi, ngrampok uang masyarakat, jual beli aturan, adu jotos di DPR, bentrok antar aparat, persoalan HAM, bentrok Satpol PP & masyarakat miskin yang tergusur, dsb". Bukankah kita para orang dewasa tidak pernah berpikir bahwa ini seluruh ialah contoh bagus yang masuk di benak unconscious (bawah sadar) murid-murid belasan tahun itu untuk kemudian dipraktekkan dalam teman-temannya yang lemah? Menginjak lengan hingga patah atau menelanjangi saudara termuda kelas kemudian menyilet atau menyunduti dengan rokok bukankah mirip dialami Pius & kawan-kawan dari para penculiknya di zaman Suharto?

Gangguan tingkah laku proaktif berkelompok (sosiopatik) masa puber

Dalam khasanah psikiatri, dalam anak-anak belasan tahun dapat timbul Gangguan Tingkah Laku Agresif Berkelompok & Gangguan Tingkah Laku Agresif Tidak Berkelompok. Ditandai dengan konduite melanggar kebiasaan sosial tanpa perasaan bersalah, mencuri & merampok, mengganggu orang, menganiaya yang lemah, melakukan korelasi seks dengan mudah, melawan orang tua & guru, sudah coba-coba dengan Napza atau berjudi, & tindak kriminal lainnya. Pada yang tidak berkelompok, konduite proaktif merusak itu dikerjakan sendiri atau waktu dia sendirian. Sedang dalam yang berkelompok konduite proaktif selalu dikerjakan berkelompok atau sewaktu dia berada beserta-sama kelompoknya. Bila sendirian anak itu tidak pernah melakukan hal itu.

Pada penganiayaan murid-murid diatas, konduite itu muncul dalam gerombolan senior atau geng. Prevalensi gangguan ini hanya kurang lebih lima-10% populasi murid sekolah, akan akan tetapi sifat perilakunya dapat menyebar menjadi gerombolan yang lebih besar. Jadi sesunggunya tidak seluruh murid anggauta geng itu mempunyai gangguan ini, akan akan tetapi konduite agresifnya dapat terimbas oleh temannya yang mengalami gangguan ini.

Psikolog Stanley Milgram dalam eksperimennya mengemukakan, bahwa peserta didik/mahasiswa dapat melakukan kekejaman di luar batas selama dia merasa dirinya bukan yang bertanggung jawab atas perbuatannya itu, akan akan tetapi kelompoknya. Itulah yang terjadi dalam penganiaya sadis dari geng Gaper (di SMAN 34), perploncoan (MOS), atau tradisi Pangudi Luhur "Smack Down", gerombolan eksekutor di IPDN, dll.

Gangguan Tingkah Laku Agresif dalam usia remaja adalah benih atau cikal bakal Gangguan Kepribadian Antisosial (Dissosial) dalam usia dewasa (18 tahun ke atas), yang secara klasik diklaim "psikopat" (sosiopatik). Tingkah laku tidak peduli kebiasaan-kebiasaan sosial, menganiaya istri & anak-anak, memperkosa, penghilangan nyawa sadis, perampokan, korupsi besar-besaran uang masyarakat,i, perjudian, mengedarkan Narkoba, kriminal lain yang semuanya dikerjakan tanpa rasa bersalah, ialah ciri gangguan kepribadian ini yang sebagian besar memenuhi penjara. Meski termasuk gangguan jiwa (mental & konduite) , namun mereka tidak kebal aturan lantaran jumlahnya terlalu poly. Mereka memang dilahirkan untuk "meramaikan global" lantaran jumlahnya lebih besar dari jumlah polisi di global. Maka di Amerika hukumannya hanya satu, "kursi listrik".

Kita ketika ini tidak pernah menyadari bahwa para penganiaya sadis di sekolah itu bila tidak ditangani secara adekuat akan berkembang menjadi gangguan konduite yang lebih mengerikan dari "kegilaan" ini dalam usia diatas 18 tahun.

Mengapa terjadi bullying & siapa yang bertanggung jawab

Siapakah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya Gangguan Tingkah Laku Agresif dalam murid sekolah ini? Faktor pokok yang berpengaruh ialah pengasuhan & perkembangan mental semenjak masa anak (baca: TK, SD). Tentu, tidak dapat lain, orang tua memegang kiprah sentral. Orang tua harus mendidik & memberi contoh nilai-nilai moral, budi pekerti, tabiat kesatria, kejujuran & tanggung jawab menjadi superego anak yang akan menentukan pembentukan ego nya sehingga anak dapat menentukan contoh positif atau negatif dalam kehidupan sehari-hari dalam usia remajanya.

Itu berarti harus terdapat korelasi erat & komunikasi antara orang tua, khususnya bapak dengan anak laki-laki semenjak anak hingga usia dewasa belia. Bila tidak, anak laki-laki tidak dapat mengidentifikasi figur bapak sehingga mencari simbol "jiwa kepahlawanan"nya dari tokoh-tokoh berwibawa namun sadis dari kehidupan nyata juga film & bacaan. Maka dalam kehidupan di sekolah, tentu bukan persoalan gampang untuk menghilangkan bullying mengingat adanya faktor-faktor pubertas dalam masa remaja ini, krisis ciri-ciri, pencarian figur-figur, terbentuknya peer, faktor keluarga, anak kost (jauh dari orang tua), lingkungan sosial & lain-lain.

Tanggung jawab tidak dapat ditimpakan sepenuhnya dalam para guru & pengurus sekolah semata, lantaran orang tua & lingkungan sosialpun berpengaruh untuk timbulnya konduite proaktif. Pengawasan guru & pengurus sekolah hanya terbatas dalam jam peajaran di sekolah. Mungkin kesalahan guru ialah tidak pekanya terhadap konduite murid-muridnya di luar kelas dalam jam sekolah. Bila guru-guru BP(BK) yang telah terdapat di tiap sekolah menjalankan tugasnya dengan baik, artinya peka terhadap segala konduite murid-muridnya & insiden agak aneh di sekolah, pastilah penyiksaan ala penculik-penculik di jaman Suharto di kamar mandi sekolah tiap hari itu tidak akan terjadi, demikian juga adu "gladiator" setiap Jumat, k. Adalah kesalahan guru juga bila tidak menanggapi berfokus laporan murid-murid yang teraniaya, atau menerka hal itu hanyalah "kenakalan anak" biasa yang dapat diselesaikan diantara mereka sendiri.

Upaya & seni manajemen sekolah menanggulangi kekerasan

Mungkin langkah Pak Muji melaksanakan "sistem among" & praktek azas dasar kepramukaan di alam bebas diatas dapat adalah keliru satu alternatif mencegah atau mengurangi bullying di sekolah. Sebagai mantan murid Pak Muji, sewaktu SMA aku melihat kekerasan timbul disana-sini antar kelas, maka beserta beberapa teman aktivis pramuka mendirikan Teladan Hiking Ascossiation (THA). Kelompok pecinta alam ini beranggotakan 300 orang putra putri dari klas I hingga kelas III, dengan kegiatan bersepeda, jalan kaki, mendaki tebing di alam bebas.

Sahabat aku pramuka, Bambang Pujono, sudah terlebih dulu mendirikan Padmanaba Hiking Club (PHC) di SMAN 3 Yogya, dengan jumlah anggauta & kegiatan yang sama. Bukan tinggi gunung, curamnya tebing, dalamnya lembah & lebar sungai yang menjadi sasaran, akan akan tetapi rasa kesetiakawanan, persaudaraan, saling tolong menolong dalam kesulitan, kejujuran & tabiat ksatria yang ingin diraih. Setelah melewati masa 35 tahun, kedua klub pecinta alam itu masih tetap hayati di kedua SMA itu hingga kini, & kelahirannya diperingati tiap tahun dengan mengundang pendiri-pendirinya yang sudah berusia lebih 1/2 abad. Tak pernah terdengar kekerasan, bullying, teror geng di kedua SMA itu.

Memang menurut Rigby (2002) konduite bullying biasanya lantaran kurangnya kesetiakawanan & kolaborasi di antara peserta didik. Pendirian klub pecinta alam & Boys Scouts di sekolah sudah terbukti dapat mengantisipasi terjadinya kekerasan & bullying.

Bila ditinjau fungsi sekolah selain menjadi daerah pendidikan ilmu juga konduite, guru memang berperan pokok lantaran adalah agen pelaksana seluruh kebijakan sekolah yang eksklusif berhadapan dengan murid. Para pamong dapat menyediakan diri menjadi konselor, tidak hanya dilimpahkan dalam guru BP(BK), guru juga menjadi social support. Sekolah harus mempunyai prosedur penyelesaian persoalan kekerasan & bullying, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas antara guru - orang tua murid seperti konsep "tri-pusoro" Ki Hajar, membuat bentuk penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas istimewa murid biasanya atau skorsing & pemecatan. Meniru persoalan narkoba, tiga kali peringatan sekolah dalam murid bila masih tetap dengan narkoba akan dikeluarkan. Kurikulum sekolah harus ebih berorientasi dalam budi pekerti & solidaritas sosial.

Sarlito Wirawan Sarwono mengajukan metoda psikologi dari Durkheim & Milgram, Reinforcement method. Kembalikan segalanya dalam kebiasaan. Para penegak kebiasaan harus berfungsi aporisma kembali. Galakkan razia tas untuk mencari senjata tajam atau narkoba. Cegah alumni yang tidak jelas tujuannya menghipnotis murid yang masih sekolah. Skors murid-murid yang melanggar aturan sekolah, dst. Metode ini dipraktekkan dengan amat berhasil di Singapura, Malaysia & Cina.

Pelatihan (Workshop) yang bertema "Penanggulangan Perilaku Agresif Sosiopatik & Bullying di Sekolah" belum & mungkin tidak pernah terpikirkan oleh Depdinas & seluruh jajarannya di daerah. Inilah peluang yang dapat dikerjakan Unit Kesehatan Jiwa Anak & Remaja RSJ.  Sebagai peserta ialah para guru umum, guru BP(BK), Kepala Sekolah, wakil-wakil peserta didik SMP & SMA yang akan menjadi anggauta Satgas anti kekerasan. Seperti pembinaan Narkoba, juga diikutkan kesaksian para orang tua, peserta didik-peserta didik korban bullying juga mantan pelaku bullying. Bedanya dengan pembinaan Narkoba, disini terdapat nara asal para psikiater & psikolog yang akan menjelaskan tentang perkembangan kejiwaan anak-anak & remaja dalam pembentukan tabiat & budi pekerti yang pas untuk anti kekerasan, selain ditambah pelatih pembina pramuka profesional. Pelatih lainnya sama. Pelatihan diselenggarakan dengan kolaborasi Dinas Pendidikan setempat dengan dengan aula Diknas juga aula di RSJ untuk praktek korelasi. Pelatihan selama 2 hari ini diikuti peserta aporisma 80 orang, karenanya harus dikerjakan beberapa kali untuk seluruh guru & sekolah setempat. Loka karya ini dikerjakan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat agar mendapat akreditasi SKS pendidikan untuk sertifikat para guru yang dapat dipakai untuk nilai cum promosi.(inukeswa.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top