Minggu, 11 Februari 2018

Lindungi industri, Indonesia bisa contek kendala dagang AS & Eropa

Lindungi industri, Indonesia dapat contek kendala dagang AS & Eropa

Pemerintah Jokowi-JK diminta buat menerapkan skema perlindungan terhadap industri nasional dalam bentuk kendala perdagangan baik tarif juga non-tarif. Tujuannya supaya produk dari luar negeri tak dapat bebas leluasa masuk ke Indonesia. Apalagi tanpa mekanisme pengecekan dari sisi kualitas ataupun standar produk.

Ekonom yg juga Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai, penerapan kendala perdagangan sangat dimungkinkan, meski waktu ini hampir semua negara sudah masuk era perdagangan bebas.

Indonesia sendiri tercatat paling banyak menandatangani perjanjian free trade aggrement (FTA) atau perdagangan bebas, baik secara bilateral juga multilateral. FTA sebagian akbar hanya mengatur konvensi mengenai tarif.

Dalam pandangan Enny, banyak negara memanfaatkan kendala Non Tarif Measurement (NTM) buat melindungi pasar domestiknya. Misalnya, Amerika Serikat memiliki 4.780 NTM, China 2322 NTM, Brasil punya 2071 NTM, Uni Eropa sebesar 1845, Kanada 1727 NTM, & Jepang 1294 NTM.

"Sementara Indonesia hanya memiliki 272 NTM, bahkan malah bersemangat buat memperlonggar masuknya barang impor," ucap Enny kepada media di Jakarta, Rabu (7/6).

Berdasarkan kategori NTM, negara yg industri manufakturnya berkembang pesat seperti Jepang & Malaysia, cenderung lebih banyak menggunakan instrumen Technical Barrier to Trade (TBT). Sementara negara-negara yg unggul dalam produk-produk pertanian seperti Australia & Selandia Baru, cenderung lebih banyak menggunakan Sanitary and Phytosanitary (SPS).

Di Indonesia, dari 272 NTM yg diterapkan, sebagian akbar atau kurang lebih 80 % adalah jenis Technical Barrier to Trade (113) & anitary and Phytosanitary (102). Sementara industri & produk pertanian dalam negeri daya saing masih rendah. "Karenanya, Indonesia wajib lebih kreatif & memperbanyak skema-skema NTM yg pasti."

Enny mencontohkan, penerapan Permendag 82/2016 ihwal Ketentuan Impor Besi atau Baja & Baja Paduan & Produk Turunan, berdasarkan Enny adalah galat satu kebijakan NTM & cukup positif bagi industri karena dalam Permendag, importir wajib memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya ketentuan verifikasi sang surveyor yg dilakukan di negara sumber/muat barang sebelum barang dikapalkan ke Indonesia. Laporan Surveyor (LS) wajib telah diterima importir sebelum barang tiba di pelabuhan tujuan. Artinya, LS adalah galat satu dokumen yg disyaratkan dalam proses customs clearance.

"Ketentuan ini tentu indah buat melakukan perlindungan industri Besi & Baja dalam negeri," ujar Enny.

Namun, beliau juga memberi beberapa catatan, antara lain wajib timbul kejelasan terhadap jenis produk impor yg dilakukan pengendalian. Pengendalian impor bahan standar seperti gavalum (bahan standar baja ringan), cold rolled coil (CRC) & hot rolled coil (HRC) justru dapat berpotensi merugikan daya saing industri baja dalam negeri.

Sebab, Krakatau Stell yg mestinya fokus membangun industri hulu (memperbesar produksi CRC & HRC) terbukti masih lemah & tak efisien. Kata Enny, andai celoteh pengendalian diterapkan dalam bahan standar, maka akan mempanjang rantai proses importasi & berdampak dalam peningkatan porto bahan standar.

Di sisi lain, Permendag 77/2016 ihwal Ketentuan Impor Ban dievaluasi menjadi langkah maju karena disusun buat mendorong industri nasional karena impor hanya boleh dilakukan sang perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-P) yg telah mendapatkan ijin dari Menteri. Sehingga, impor yg dilakukan, semata buat melengkapi proses produksi Ban dalam negeri.

"Ini langkah yg pasti, guna semakin mendorong hilirisasi industri karena Indonesia memiliki perkebunan karet yg sangat luas. Industri Ban sudah cukup berkembang di Indonesia. Hal yg krusial, Pemerintah juga wajib permanen menjaga supaya terjadi persaingan yg sehat, tak menumbuhkan praktik kartel," papar Enny.

Enny pergi mengingatkan supaya pemerintah lebih mendengar pelaku industri yg menampung ribuan pekerja & penyumbang pajak yg akbar. Ketimbang, hanya sekadar mendengarkan keluhan-keluhan importir/trader semata.

"Peningkatan produktivitas nasional membutuhkan produsen-produsen yg kredibel daripada sekadar pedagang atau trader," tegasnya. [idr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top