KROASIA baru saja memastikan satu dari tiket terakhir ke putaran final Piala Dunia 2014 dalam Brazil. Belasan tahun kemudian, saya bisa jingkrak-jingkrak gembira. Sekarang sih reaksi saya cuma, I know they can do that.
Saya pernah sangat terobsesi terhadap Kroasia. Obsesinya sebenarnya khas anak-anak. Yakni kepengen pindah ke Zagreb, bekerja dalam sana, serta menikah memakai Davor Suker. Ok yg terakhir ini paling childish.
Harus diakui, obsesi itu bermula berdasarkan kecintaan saya dalam Suker. Bintang sepak bola Kroasia dalam akhir era 90-an itu begitu ganteng dalam mata saya (jaman itu saya belum bisa membedakan mana cowok ganteng serta mana cowok seksi). Khas anak-anak juga, jatuh cinta dalam aksinya dalam lapangan kemudian merembet ke kehidupan pribadinya.
Saya ngepoin semua mengenai dia. Tanggal lahirnya berapa, rumahnya dalam mana, pacarnya siapa, hobinya ngoleksi jam tangan apa. Kalau jaman itu internet sudah gampang diakses, tentu saya akan kunjungi tiap hari situs Daily Mail serta The Sun yg paling hobi mengorek sisi-sisi pribadi bintang lapangan hijau.
Tak hanya itu. Membaca sejarah sepak bola Kroasia kemudian tidak bisa dilepaskan berdasarkan loyalitas suporter dalam sana. Ketika masih diduduki Yugoslavia, kelakuan suporter ultras bertaut erat memakai nasionalisme serta patriotisme. Tentu tak ada yg lupa bagaimana Zvonimir Boban melawan polisi Serbia yg memukuli suporter Dinamo Zagreb dalam sebuah kerusuhan yg adalah buntut output pemilu Yugoslavia.
Dilihat berdasarkan kacamata berkualitas di optik tunggal normal, aksi itu ya anarkis. Tapi berhubung dikala itu rivalitas suporter Dinamo memakai Red Star Belgrade sudah jadi representasi perang Balkan, alhasil aksi Boban (serta suporter Dinamo yg melawan suporter Red Star) kemudian dipandang sebagai aksi heroik. Bahkan Boban sebagai ikon nasionalis Kroasia.
Baru beberapa tahun kemudian saya nonton dokumentasi mengenai rivalitas 2 suporter ultras dalam sana. Nggak beda jauh sama rivalitas suporter ultras dalam Italia atau hooligan Inggris. Some of them dont even care about football. They just love chaos. Tapi gimana lagi, kadung cinta sama sepakbola Kroasia.
Untungnya, saya masih waras. Obsesi itu tidak bertahan usang. Lulus SMP, performa Suker mulai naik turun. Sempat moncer sementara waktu dalam Arsenal, akan akan tetapi kemudian dibeli West Ham serta TSV 1860 Munchen. Jarang main. Sekalinya main nggak achieve. Bahkan dia masuk skuad Kroasia dalam Piala Dunia 2002 memakai status clubless. Apa bedanya sama tambal ban tubeless.
Nah! Setelah bertahun-tahun memendam obsesi itu, saya akhirnya mendapat kesempatan untuk berkenalan memakai sepakbola Kroasia. Bukan, saya bukannya ditugaskan ke Zagreb serta menciptakan laporan spesifik mengenai itu. Bukan juga saya harus mewawancarai Davor Suker. Saya kebetulan ditugaskan meliput Euro 2012 dalam Polandia-Ukraina. Saya ngepos dalam Polandia. Salah satu negara terbesar dalam Eropa Tengah itu boleh saya ubek-ubek sepuas hati.
Nggak perlu diceritakan bagaimana saya overlook Poznan, kota yg saya anggap nggak ada apa-apanya. Dari beraneka brosur wisata maupun ensiklopedia kota, dia memang kalah menarik dibandingkan kota host yg lain. Bahkan bila dibandingkan Krakow yg nggak jadi host Euro. Lalu, salah siapa kalau saya nggak ketemu Davor Suker yg ternyata ngendon dalam Shangri-La Poznan? *nggak usah dijawab.
Tapi, permanen saja saya akhirnya bersentuhan memakai sepak bola Kroasia. Tak hanya meliput laga penyisihan Grup C antara Kroasia melawan Spanyol. Saya bertemu rombongan suporter mereka yg legendaris tadi. Itu terjadi dikala saya nongkrong dalam stare miasto, kota usang, dalam Gdansk.
Jumlahnya ribuan, berdatangan berdasarkan segala penjuru kota. Mereka bermunculan berdasarkan lorong-lorong stasiun bawah tanah. Juga berdasarkan underground pedestrian crosswalk. Mereka turun berdasarkan tram, bus, serta kereta listrik. Kostum papan catur merah mereka yg mencolok berpadu memakai rahang-rahang kokoh serta tubuh tegap menciptakan mereka misalnya badut menakutkan.
[caption id="attachment_294017" align="aligncenter" width="300" caption="BERTEMAN: Suporter Kroasia serta Spanyol tampak rukun dalam luar lapangan. Saat itu, bukan Spanyol yg jadi musuh Kroasia, akan akan tetapi Italia. "][/caption]
Terus terperinci saya takut sama kerumunan suporter. Perilakunya tak gampang ditebak, apalagi kalau sudah ada alkohol terlibat. Meski siang itu mereka tampak jinak (karena masih pede Kroasia lolos ke perempat final), saya menentukan tidak berdekat-dekat memakai mereka. Ketika berpapasan dalam stasiun, seperlunya saya beli tiket serta pindah hotel untuk ke Krakow esok hari, kemudian pulang ke stare miasto.
Saya salah kalau menerka kawasan kota usang steril berdasarkan mereka. Begitu melewati gerbang yg memisahkan kawasan itu memakai sudut kota lainnya, ribuan suporter berkostum papan catur merah sudah menyambut. Mereka berkumpul, berpawai, bernyanyi, menebar perang urat syaraf kepada sejumlah suporter Spanyol yg manis-manis serta nggak seberapa banyak.
Menepis kengerian, saya membisu-membisu bergabung memakai mereka. Saya merangsek ke kerumunan serta memotret. Asal ikut menyanyikan yel-yel andalan serta potongan harga lagu kebangsaan mereka (saya pelajari ini waktu masih jadi grupis Suker), mereka pribadi anggap saya sahabat. Salah satu berdasarkan mereka raih tangan saya yg nggak pegang kamera, kemudian ajak saya menari-nari. Semua orang happy.
Di suatu titik jalanan kota tua, mob itu berhenti. Barisan kemudian menciptakan 1/2 bulat. Di depan, satu dari menyalakan mercon merah berasap. Chant-nya makin menggila. Mereka pintar sekali mengobarkan semangat sense of belonging. Saya yg dalam Indonesia tak terdaftar sebagai suporter klub apa pun (bahkan tak pernah nonton bola dalam stadion kecuali sedang kabar), mencicipi sensasi luar biasa. Ingin jadi bagian berdasarkan mereka. Ingin jadi bagian berdasarkan sejarah sepakbola Kroasia. Obsesi saya jaman SMP dulu, yg sudah usang saya lupakan, tiba-tiba terwujud. Saya asyik menikmati sensasi itu sembari menari-nari.
Tiba-tiba seseorang menyentil bahu saya. Wanna some? katanya sambil mengedipkan mata, kemudian menentukan ke 2 temannya. Saya bengong memandang mereka. Tiga cowok tinggi akbar. Like really big. I dont get it, kata saya. Oh come on, you know, kali ini dia menciptakan bulat berdasarkan jemari tangan kanannya. Lalu memasukkan telunjuk tangan kiri ke bulat itu.
Oh no. I dont do that. Im with someone, kata saya ramah sambil meringis. Bohong sih. Saya dalam Gdansk sendirian. Raut mereka kecewa, kemudian pergi. Diam-membisu saya menyingkir berdasarkan kerumunan itu. Nggak bisa bayangin aja bergantian bercinta memakai 3 laki-laki stranger sebanyak super besar. Tentu belum tentu semua orang Kroasia begitu. Tapi barusan saya baca libido laki-laki Kroasia dalam atas homogen-homogen, serta mereka paling senang mengajak stranger yg ditemui berdasarkan kerumunan. So, bagi mereka saya figur yg perfect in the most apes way. (na)
[caption id="attachment_294019" align="aligncenter" width="1600" caption="MASIH JINAK: Para suporter Kroasia merogoh alih jalanan primer stare miasto dalam Gdansk, jelang laga penyisihan kelompok Euro 2012 melawan Spanyol, Juni kemudian. "]
[/caption]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar