Minggu, 11 Februari 2018

Percayalah, Memantaskan Diriku Ini Untukmu Sekarang serta Kehidupan Selanjutnya

Percayalah, Memantaskan Diriku Ini Untukmu Sekarang serta Kehidupan Selanjutnya

Kiana terkasih, bagaimana pagi harimu dimulai kini?

Aku masih mengingat kala menjadi saksi sebuah harimu dimulai. Kita berdua tengah mengendarai kendaraan menuju sebuah pantai di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Kamu begitu mencintai pantai serta surya terbit. Maka dari itu kita berangkat dari kota menuju pantai saat sebagian besar orang masih terpejam. Aku menyewa sebuah kendaraan beroda empat dari kawasan rental agar kita bisa lebih menikmati hari.

Ingatkah bahwa engkau berjanji buat menemani aku? Menyetir agar aku bisa mengalahkan kantukku? Nyatanya engkau malah meneruskan tidur serta baru sadar dari mimpi saat kita hampir sampai di pantai.

Saat kita menunggui surya tiba, engkau tidak berhenti bersin. Ah, aku hanya bisa meminjamkan jaket buat membantu menghangatkan engkau, akan akan tetapi bersin itu baru berhenti kala surya bersinar terik. Kini aku tidak lagi bisa melihatmu kelelahan lantaran bersin.

Kiana terkasih, adakah nomer telepon yang bisa memudahkanku buat menghubungimu? Atau bisakah engkau beritahu alamat mana yang mesti aku tuju saat aku merindukanmu? Kenapa engkau menghukumku dengan cara menjauh mirip ini?

Andai aku bisa menukar apapun yang aku miliki saat ini buat bisa menatapmu, akan aku berikan. Ah, beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan ibumu. Aku menanyakan alamatmu yang baru, akan tetapi beliau jua tidak tahu dimana engkau saat ini. Kemudian ibumu memberi tahu sebuah cara agar dapat menyebutkan rindu dalam engkau. Cukup dengan tengadah tangan, serta Tuhan akan membantuku menyebutkan rindu-rinduku padamu.

Apa engkau sudah dapatkan rinduku, Kiana? Aku mengirim rindu-rindu itu lima kali dalam satu hari. Kini, dengan cara itulah aku mencintaimu.

Saat muncul engkau di sisi, engkau perlu menyentil telingaku pelan agar aku menyegerakan bertemu Tuhan. Sekarang, aku malah begitu menanti saat-saat di mana aku bisa bersapa dengan Tuhan. Walau sehari bisa aku lakukan lima kali, seolah tidak cukup kini. Karena hanya dengan bertemu Tuhan, aku seolah bertemu engkau.

Kiana yang galak, dalam surat ini aku jua ingin berkisah padamu. Begitu banyak hal yang aku lalui saat engkau tidak lagi menemani. Semua berawal di suatu malam paling suram yang sampai detik ini terjadi
padaku. Ya, malam di mana engkau pergi tanpa mengucapkan kalimat pamit dalam ibumu, dalam sahabat-sahabat mainmu, aku, bahkan dalam semesta sekalipun.

Malam itu aku bersimpuh di depan fotomu yang nampak manis mengenakan dress putih serta bertelanjang kaki. Di saat itulah kali ketigaku menangis. Pertama, saat aku lahir, kedua adalah waktu aku kehilangan kelinci kesayanganku serta ketiga, saat aku kehilanganmu. Kenapa aku menangis? Karena aku menyesali tiap kebodohan yang pernah aku bagikan dengan engkau, menyesali tidak kunjung memberimu kebahagiaan, menyesali betapa tidak layaknya diri ini saat dengan engkau.

Aku hampir tidak bisa berdiri kalau saja sahabat-sahabat tidak membantuku bangkit serta mengantarku kembali ke kawasan kos. Aku tidak jangan lupa berapa hari aku mengurung diri dalam kamar serta hampir tidak makan serta minum apapun kecuali air mineral serta biskuit sisa entah berapa bulan yang lalu.

Beberapa hari setelahnya, beberapa orang yang aku serta engkau kenali tiba lagi ke kos, mereka menyebut diri mereka menjadi 'sahabat yang baik'. Mengharukan bukan? Mereka takut kalau-kalau aku sudah membusuk di dalam kamar kos lantaran bunuh diri dengan cara mengunyah obat nyamuk bakar.

Mereka memaksaku mandi serta mencukur kumis, bahkan sahabat kita yang baik itu menyuapiku lontong opor dengan paksa. Aku terharu mengingat urusan ekonomi mereka membahagiakan aku, agar aku cepat melupakan engkau. Alhasil, mereka hanya bisa memaksaku mandi serta makan, tidak dengan melupakan engkau. Kamu jangan lupa si Kriting? Dia bahkan menginap di kos selama 2 malam, memastikan aku tetap makan serta mandi.

Sampai dalam malam keduanya menginap di kosku, Kriting mengajakku bicara enam mata. Kenapa enam? Kamu ingatkan selain rambutnya yang keriting serta tebal, ia jua memakai kacamata berkualitas di optik tunggal yang tidak kalah tebal. Jadilah kami bicara enam mata.

Aku tidak banyak bicara sementara Kriting yang dengan semangat mem-beo tentang hal-hal apa yang terlewatkan olehku di kantor. Sampai dalam akhirnya Kriting mengungkit tentang kepergianmu. Kepergianmu yang begitu tiba-tiba serta mengagetkan semua orang.

Kriting mengatakan banyak hal, beberapa mirip yang dikatakan orang lain yang bersimpati padaku. Tapi muncul satu wejangan Kriting yang begitu menohokku, "Bro, Kianam emang sudah menginggalkan kita semua. Meninggalkan sahabat-sahabat, keluarganya, serta ninggalin elo. Tapi, elo tetap bisa mencintai ia mirip biasa, atau bahkan lebih lagi. Jangan berpikir kalau semuanya udah terlambat. Dia masih mencintai lo serta menjadikan lo orang terakhir yang ia cintai. Pantaskan diri lo, bro. Perbaiki diri lo yang berantakan serta kacau ini. Sekalipun lo merasa terlambat buat ngebahagiain Kiana, hidup lo nggak berhenti di sini. Lo mesti bangkit. Memang nggak segampang itu buat nemuin yang sebaik Kiana, akan akan tetapi bukan berarti itu tidak mungkin, kan? Pantesin diri lo, serta lo akan menemukan Kiana yang baru dalam diri seseorang yang lain".

Awalnya aku mencibir istilah-istilah Kriting. Mana bisa seseorang jomblo yang masa kesendiriannya sudah selama masa jabatan presiden menasehatiku perihal patah hati. Tapi, Kriting betul.

Kehilangan engkau bukan akhir dari hidupku.

Kianaku serta akan tetap menjadi milikku. Kamu yang memahami setiap detailku. Baik burukku, ya walau memang lebih banyak tidak baik yang nampak. Bisakah aku bertanya padamu, kenapa engkau bersedia menemani orang udik sepertiku? Aku menyia-nyiakan kuliahku, melewatkan beberapa kesempatan yang dapat mengganti hidupku, bahkan menyia-nyiakan engkau yang begitu berbaik hati selalu setia di sisi. Aika tiap satu dosa akan membekas di wajah, mungkin kini wajahku sudah menghitam lantaran tertutup dosa.

Tapi, aku sudah membuktikannya padamu. Ya, memulai segala sesuatu dari awal memang tidak pernah gampang. Contohnya? Aku memulai lagi kuliahku, memperbaiki nilai D yang aneka macam aku
dapat. Mulai bangun subuh, bertemu Tuhan, lalu bersiap ke kampus. Aku menyelesaikannya selama 2 semester serta akhirnya, aku wisuda. Menyelesaikan kuliah di antara tumpukan pekerjaan kantor tidak gampang, Kiana. Tapi, aku berhasil.

Mama memelukku penuh kebanggan, papa menepuk bahuku dengan keyakinannya, sahabat-sahabat mengguyur sekujur tubuhku dengan tepung serta telur busuk. Oh ya, Ibumu jua tiba di seremoni wisudaku, Kiana. Beliau memberiku sekotak kue bolu buatannya yang yummy itu. Disaat itulah aku jua yakin engkau ikut tiba, melihatku serta berkata "akhirnya si udik ini lulus jua". Ya, aku tahu engkau tiba.

Kiana yang tabah. Tidak sampai di situ saja perubahan hidupku. Setelah menuntaskan kuliah, aku keluar dari kantorku yang lama serta membuka kantor konsultan arsitek sendiri. Seperti cita-citamu terdahulu. Aku merekrut sahabat-sahabat kita yang lebih mirip power rangers daripada seseorang arsitek. Memang tidak gampang semuanya, memulai dari bawah sampai mendapatkan kepercayaan klien. Tapi, inilah aku yang kini. Membangun cita-citamu yang terhambat.

Ah Kiana, apa engkau dengar nafasku saat ini? Tidakkah nafasku terdengar lebih lega daripada yang dulu? Kiana, aku sudah berhenti meracuni diri dengan lintingan tembakau itu kini. Aku tidak lagi merokok sesuntuk apapun otakku, selelah apapun badanku, aku tidak lagi merokok. Aku cukup bangga bisa mengakhiri kebiasaan burukku yang satu ini, lantaran aku tahu dalam diammu dulu, engkau begitu benci melihatku merokok.

Percayakah engkau, Kiana. Aku merasakan begitu banyak keberuntungan yang kini menyertaiku. Apakah itu berkat engkau? Kini engkau lebih dekat dengan Tuhan, bisa saja engkau meminta donasi-Nya agar menambahkan sedikit serbuk keberuntungan di hidupku kini. Tiap aku mengadu dalam Tuhan, seolah aku membutuhkan seribu hari buat mengakui dosa serta kebodohan yang dulu aku lakukan.

Jujur aku menyesali aku yang dulu, mengapa aku harus kehilangan engkau terlebih dulu lalu setelahnya aku mendapatkan kehidupan yang layak? Kenapa tidak semenjak lama aku memantaskan diri, agar engkau betah berlama-lama disisiku?

Ah Kiana, apa engkau menyesal sudah menghabiskan sisa waktumu buat menemani seseorang yang udik sepertiku? Seperti saat ini yang sedang aku lakukan, aku memantaskan diri. Sekalipun terlambat, aku tidak ingin menjadi kekasih yang udik mirip dulu, aku akan membaggakan engkau, membahagiakan engkau.

Ingatkah engkau dulu, Kiana? Aku dulu gemar sekali berucap padamu apabila, 'aku tidak akan selamanya kacau, sayang. Tenang, aku berubah.' Aku kini berubah, tidak lagi sekacau aku yang dulu. Masih tetap menjadi aku yang pelupa, akan akan tetapi aku tidak lagi pretensi lupa akan waktu di mana aku harus bertemu Tuhan. Aku masih malas mandi mirip aku yang sudah-sudah, akan tetapi aku tidak lagi malas menuntaskan kewajibanku. Kriting betul, hidupku tetaplah berjalan meski engkau tidak lagi muncul.

Kiana kekasihku, Entahlah apa aku bisa mencari seseorang baru buat menggantikan engkau. Hingga kini aku masih enggan buat memulai sebuah interaksi yang baru mirip memulai dengan engkau dulu. Tapi, Kiana, sekalipun aku bisa menggantikan engkau dengan gadis lainnya, gadis itu patut berterimakasih padamu. Karena berkat engkau, aku menjadi aku yang kini. Menjadi seseorang yang pantas buat orang lain.

Kiana surya terbitku. Kalau sampai kelak surya terbit dari barat serta aku tetap sendiri. Maukah engkau menjadi kekasihku lagi di kehidupan yang selanjutnya? Tenanglah, sayang. Aku sudah tidak sekacau dulu.

Advertisement

Artikel Bermanfaat serta Menghibur Lainnya

Ini Tentang Kesiapan; Memangkas Jarak Antara Aku, Dia serta Kebahagiaan
Sebelum Aku Menemukanmu, Aku Akan Memantaskan Diriku
Aku Harus Memantaskan Diri Karena-Nya. Dan Maaf, Aku Sudahi Memantaskan Diri Untukmu
Untukmu, Tujuan Akhirku Memantaskan Diri
Tujuan Akhirku Memantaskan Diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top