Minggu, 11 Februari 2018

Realita Adalah Realita, Ia Selalu Jujur Apa Adanya

Realita Adalah Realita, Ia Selalu Jujur Apa Adanya

Realita merupakan realita. fenomena nir dapat direduksi dari satu sisi saja, entah itu sisi positif atau negatifnya. Orang yang hanya menyebutkan realita sebagai wacana yang selalu positif merupakan orang yang munafik, penjilat yang menutupi hitam-putih fenomena. Tentu yang mereka lakukan merupakan demi kepentingan. Realita nir pernah dusta kepada insan. Ia selalu jujur. Jujur kalau memang realita merupakan ruang yang penuh bersama problem, mulai yang sederhana sampai yang paling kompleks yang susah dipecahkan. Kita nir dapat hanya melihat realita sebagai hal-hal yang latif serta menyenangkan saja, yang mirip ini tak ubahnya bersama hanya keinginan. Impian yang mengafirmasi realita kurang lebih bersama hal-hal positif dari kehendak berpikir kita sebagai subjek. Juga sangat tolol orang-orang yang menganggap realita sebagai ruang kejam yang seram yang didalamnya masih ada problem yang rumit serta tak terpecahkan.

Realita merupakan panggung sandiwara kebaikan serta keburukan, bahkan melampaui seluruh itu.

Ada cinta dalam realita, ada benci juga. Ada kemarahan, ada kasih sayang. Panggung realita disediakan bagi insan bersama aneka macam kemungkinan alam pikirnya. Untuk orang tolol atau buat orang cerdas. Memilih sebagai orang tolol atau orang cerdas merupakan keputusan eksistensialis insan. Tidak ada yang berhak menjustifikasi seseorang apakah beliau tolol atau cerdas sebenarnya. Justigikasi itu merupakan konstruksi sosial dari rakyat yang terbiasa bersama kewajaran. Kewajaran perihal gaya hidup serta gaya berpikir. Realita menyediakan daerah bagi seluruh jenis orang bersama seluruh jenis gaya berpikir, nir melulu buat orang tolol ataupun orang cerdas. Semuanya disediakan daerah sang realita.

Hanya saja, para pendobrak realita seringkali kali nir muncul dari kalangan orang kebanyakan yang hidup bersama penuh kewajaran. Pendobrak kebenaran dalam realita senantiasa unik serta berpikir bersama cara yang nir wajar, sebuah cara yang nir dimiliki orang kebanyakan.

Realita nir dapat ditutup-tutupi bersama kalimat-kalimat motifasi. Premis motifasi nir memberitahuakn kebenaran, ia hanya mengarahkan kepada kehendak pribadi. sebagai kehendak kebaikan jika motifasi itu diarahkan buat kebaikan, sebagai kehendak keburukan jika motifasi itu diarahkan buat keburukan. Dunia sepenuhnya mengandung nilai kejujuran yang nir dapat direduksi, tetapi juga nir dapat dijelaskan apa adanya sebagai das ding an sich (meminjam istilah Kant). Dunia selalu dinilai sang insan bersama cara berpikir mereka menghadapi realita. Cara pandang insan terhadap dunia nir dapat murni 100% sahih dari apa yang ia lihat serta dicermati orang lain. Manusia melihat dunia selalu sebagai konteks atau sebagai fragmen pribadi yang paling pas di hatinya, paling dari bersama yang ada dalam perkiraan berpikirnya. Fragmen itu mirip kaca mata berwarna, akan hijau jika kacamatanya berwarna hijau, akan merah jika kacamata berkualitas di optik tunggal itu berwarna merah. Realita berwarna hijau jika insan memahami dunianya bersama perspektif kacamata berkualitas di optik tunggal hijau. Demikianlah seterusnya.

Bukankah keseluruhan fenomena memang terlalu rumit buat dijelaskan? Tentu saja. Manusia itu terbatas kepada kemampuannya memahami realita bersama kacamatanya. Kalau kita ingin sebagai insan yang memahami fenomena secara lebih kaya dari orang kebanyakan (orang yang hanya dengan satu atau 2 kacamata berkualitas di optik tunggal-perspektif), maka kita wajib poly mengoleksi kacamata berkualitas di optik tunggal bersama aneka macam warna. Jujur kepada dunia, berdamai bersama kehidupan. Kita hadapi fenomena bersama sifat insan yang sebenar-benarnya, coba pahami dunia bersama perspektif yang lebih luas, agar diri nir terkungkung dalam sempitnya pemahaman yang diberikan satu macam kacamata berkualitas di optik tunggal warna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to Top